Mohon tunggu...
kharizal afriandi
kharizal afriandi Mohon Tunggu... Freelancer

Digital Marketing Strategist | SEO-First Mindset, Multi-Platform Execution, Data-Driven Decision Maker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelusuri Jejak Ponggol: Nasi Bungkus yang Menjadi Identitas Tegal

25 September 2025   17:24 Diperbarui: 25 September 2025   17:24 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi Ponggol Tegal di Kampoeng Poci Lebaksiu  (dok. Kharizal Afriandi)

Pagi di Tegal selalu punya aroma yang khas. Dari sudut-sudut gang hingga perempatan jalan, tercium wangi nasi hangat yang mengepul dari bungkusan daun pisang. "Ponggol, Ponggol..." begitu suara penjual memanggil, nyaris seperti bisikan yang menuntun langkah kita mendekat. Saat bungkusan itu dibuka, terlihat nasi putih mengepul, ditemani orek tempe pedas, remukan kerupuk mie, dan kadang sepotong tahu goreng sederhana. Inilah nasi Ponggol, sajian rakyat yang kini menjadi simbol kuliner kota ini.

Namun Ponggol bukan sekadar sarapan murah meriah. Ia adalah potret perjalanan sejarah, dari masa kolonial hingga hari ini, yang terus hadir di meja makan warga Tegal.

"Nasi Ponggol merupakan makanan khas Kota Tegal yang memiliki ciri porsi kecil, lauk sederhana, dan dibungkus daun pisang berbentuk pincuk."
--- Kabudayan.id

Dari Perkebunan ke Pinggir Jalan

Konon, Ponggol lahir di masa kolonial ketika para buruh perkebunan dan pekerja pabrik gula membutuhkan bekal yang praktis. Nasi dibungkus dalam pincuk daun pisang, porsinya kecil agar mudah dibagi rata, dan lauknya sederhana: sambal goreng tempe atau tahu. Bungkusan ini bisa diselipkan ke dalam ikat pinggang atau tas anyaman, dibawa ke ladang, lalu disantap di sela-sela kerja.

Tradisi itu kemudian bertahan. Di tahun-tahun berikutnya, Ponggol tak hanya jadi bekal kerja, tapi juga makanan pengganjal lapar di malam hari. Dari situlah lahir istilah Ponggol Setan---karena dijual hingga dini hari, pedasnya pun menyengat, seolah "menggoda setan" untuk ikut mencicipi.

Filosofi dalam Bungkus Sederhana

Setiap lipatan daun pisang dalam Ponggol mengandung filosofi. Ia mengajarkan tentang kesederhanaan: bahwa kebersamaan lebih penting dari kemewahan. Ia juga bicara soal keadilan: porsi kecil yang sama untuk semua, tanpa membeda-bedakan siapa yang makan. Dan tentu saja, ia menjadi lambang kearifan lokal---bagaimana warga Tegal menjaga tradisi ramah lingkungan lewat pembungkus alami jauh sebelum plastik mendominasi.

Pedasnya Ponggol juga punya makna. Rasa kuat dan berani itu seperti cermin karakter warga Tegal yang lugas dan tegas.

Ponggol di Era Modern

Kini Ponggol tidak lagi hanya milik buruh dan pekerja malam. Ia hadir di berbagai sudut kota, dari warung kecil hingga restoran yang mencoba merawat tradisi. Lauknya pun semakin beragam---telur dadar, ayam goreng, hingga kreasi modern---tanpa meninggalkan esensi sederhana dari nasi dan daun pisang.

Di Kabupaten Tegal, salah satu tempat yang konsisten menjaga tradisi ini adalah Kampoeng Poci. Restoran ini menyajikan Ponggol sebagai menu heritage, lengkap dengan suasana yang mengembalikan kita pada nuansa kampung: hangat, akrab, dan otentik. Di sini, Ponggol bukan sekadar sarapan kilat, melainkan pengalaman rasa dan budaya.

Resto heritage bergaya heritage jawa tengah ini berlokasi di Jalan Raya Kajen, Kajen, Lebaksiu Kabupaten tegal. Mampirlah saat anda melintas menuju baturaden, Porwokerto atau hendak berwisata ke Guci, tegal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun