Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Haji (1): Ibadah Haji, Perjalanan Mencari Kesejatian Manusia

21 September 2015   23:30 Diperbarui: 28 September 2015   00:43 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Allah memang Maha Penyayang. Allah memang Maha Pemberi Rahmat. Mereka yang diberi kesempatan melaksanakan ibadah haji tidak hanya dari kalangan yang mapan ekonomi, berpendidikan tinggi atau yang memiliki pengetahuan Islam luas atau yang memiliki tingkat keimanan yang kuat. Mereka yang dipanggil olehNya ke Baitullah dari semua kalangan, yang juga bisa hanya lulusan SD, petani, yang tidak bisa mengaji sama sekali atau yang perilaku sosialnya mungkin kurang beradab. Allah pasti punya maksud...

Salah satu jamaah haji dalam rombongan saya mengaku bahwa ia dapat berangkat haji karena pertolongan Nabi Khidir. Berkat amalan-amalan yang dilakukannya, Nabi Khidir kemudian memberikannya tasbih. Namun, ketika hendak berangkat, tasbih itu hilang. Mengguyoni si bapak yang berprofesi petani dan sepertinya menyambi jadi ‘orang pintar’ karena pengakuannya sering dikunjungi orang yang minta untuk kaya atau laris dagangannya, suami saya mengatakan kepada si bapak bahwa “mungkin itu jin yang mengaku Nabi Khidir. Tasbihnya jadi hilang karena jinnya takut diajak ke Mekkah”. Si bapak lugu itu hanya tertawa terkekeh-kekeh...

Ya, ragam hal yang saya amati selama hampir 2 pekan di Mekkah. Utamanya terkait perilaku orang-orang yang hilir mudik di pemondokan. Setiap hari, saya meluangkan waktu untuk turun ke lobi untuk akses internet. Selain untuk komunikasi tugas perkuliahan atau bimbingan tesis dengan mahasiswa, saya kerap mengamati kebiasaan jamaah yang berada di area lobi yang luas itu. Lazimnya mereka menggunakan area lobi untuk menerima tamu atau berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia memanfaatkan Skype/WA/Line yang berbasis Wifi. Banyak juga pasangan suami istri yang makan minum bersama. Maklum, di pemondokan, kamar suami istri terpisah. Sehingga bila mereka ingin berinteraksi, biasanya memanfaatkan lobi untuk makan bersama atau sekedar ngobrol. Yang tidak lazim diantaranya adalah...

Pernah di hadapan saya, sepasang suami istri tidur-tiduran di sofa dengan selonjor dengan pose yang pantasnya mungkin hanya dilakukan di kamar pribadi. Padahal mereka adalah jamaah haji dan sedang berada di ruang publik. Astaghfirullaahaladziim...

Beberapa kali juga saya mendapati seorang bapak yang duduk dengan kaki diletakkan di atas meja dengan pose yang mungkin juga kurang pantas secara adap di tempat umum.

Untuk urusan merokok, sangat baaaaanyak sekali yang tidak merasa bersalah bila merokok di tempat ber-AC. Tidak hanya di lantai pemondokan saya yang bapak-bapaknya merokok di kamar, tetapi juga di gang-gang hotel sembari lesehan di lantai dengan minum kopi. Termasuk pula di lobi hotel. Meski areanya luas, buat saya yang memiliki asma, kepulan rokok dari depan belakang kanan dan kiri secara bersamaan dapat langsung membuat hidung saya bereaksi dan kepala seketika migrain atau terasa pening. Pada saat pertemuan kloter, saya sempat memohon kepada dokter kloter untuk menghimbau kepada bapak-bapak yang merokok untuk merokok di luar ruangan. Terlebih, rata-rata kondisi jamaah sudah mulai terserang batuk pilek. Setiap kali sholat berjamaah, selalu bersahut-sahutan suara bersin dan sroot pilek.

Untuk urusan merokok, saya memang sensitif. Pasalnya, mereka-mereka yang merokok kerap kali egois. Mereka sering merokok tidak peka tempat. Di pemondokan, saya amati, justru bapak-bapak yang merokok semau gue itu justru yang berpendidikan dan secara penampilan perlente atau memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik. Justru mereka-mereka ini yang lebih garang bila diingatkan untuk tidak merokok di tempat ber-AC.

Sejumlah cerita lucu juga saya dapati. Di kamar sebelah, ada seorang ibu yang tidak menyapa teman sekamarnya. Alasannya, kalau tidur selalu ngorok keras sekali. Padahal, kata ibu yang lain, yang tidak mau bertegur sapa itu ya bila tidur juga mengorok keras...

Cerita sedikit mengharukan juga terjadi pada seorang ibu yang termasuk kategori lansia. Si ibu berusia 65 tahun ini berangkat haji sendirian. Tuturnya, suaminya memang tidak tergerak untuk naik haji. Dulu ia mendaftar diam-diam saking inginnya bisa berhaji. Pengakuannya, ia meniru film Tukang Bubur Naik Haji yang setiap kali melakukan aktifitas berdoa ‘labbaikallaahumma labbaik’. Termasuk ketika beraktifitas di dapur, mulai dari cuci piring, menanak nasi, mengulek, merajang sayur, dan lain-lain selalu dengan doa-doa tersebut yang menemani. Jelang keberangkatan, suaminya selalu marah-marah. Kalau ada tamu, suaminya malah asyik bermain orari dan tidak mau menemui tamu. Pas hari keberangkatan, suaminya hanya berkata 'budal wes'. Dan selama di Mekkah, suaminya tdk pernah SMS atau telpon menanyakan keadaan istrinya. Istrinya sedih dan selalu nangis mengingat suaminya. Ia merasa tidak berarti. Setiap kali usai sholat di Masjidil Haram, ia selalu memanjatkan doa agar diberi kesempatan kembali mengunjungi Baitullah bersama sang suami. Bila tidak mungkin untuk melakukan haji mengingat usia, semoga diizinkan untuk berumroh bersama suami.

Ya, rata-rata usia jamaah haji di rombongan saya berusia 50 tahun ke atas dengan dominasi usia mungkin di atas 60 tahun. Teman sekamar saya, dua orang berusia 65 tahun dan satu berusia 58 tahun. Satu diantaranya yang berusia 65 tahun itu selalu kencing tanpa ia menyadarinya. Beberapa hari pertama, kamar mandi sering berbau pesing. Setelah selidik penuh selidik, akhirnya saya mengetahui penyakit ibu tersebut. Saya ajak ibu itu ke klinik kesehatan sembari berupaya mencari diapers untuk orang tua untuk mengurangi dampak penyakitnya itu. Sedihnya, ketika saya mengupayakan agar ibu tersebut mendapat pengobatan, pihak kloter dari Kemenag dan dokter kloter cenderung meminta saya atau teman sekamar yang mengurusi ibu tersebut karena sejumlah alasan. Termasuk untuk membawa ibu tersebut ke Sektor untuk mendapat pengobatan dan mencarikan diapers. Padahal, kami tidak ada yang tahu apa dan di mana Sektor, harus menemui siapa, membawa surat pengantar apa, dan kalau harus mencari diapers harus di toko apa karena kami masih hitungan hari berada di Mekkah. Kesabaran dan keikhlasan memang menjadi ujian buat kami. Dan yang menambah sedih adalah... ternyata salah satu ibu di kamar saya itu sesungguhnya membawa diapers meski tidak banyak. Tujuannya membawa hanya untuk jaga-jaga ketika perjalanan di pesawat atau di bis. Padahal, dari sisi urgensi, diapers itu sangat dibutuhkan buat ibu yang sering pipis tidak sadar itu. Mengapa ibu itu tidak meminjamkan kepada ibu yang sakit tersebut sembari kami menemukan toko yang menjual diapers?

Berkumpul bersama ibu-ibu lansia memang unik. Di awal pertemuan, saya harus mengutak atik HP mereka agar mereka bisa berkomunikasi dengan menggunakan nomor Arab Saudi. Setiap beberapa hari sekali, saya juga harus mengetikkan SMS kepada anak-anak mereka di Indonesia untuk mengabari keadaan orangtua mereka. Sempat juga suamiteman sekamar saya yang ‘hilang’ sejak Dhuhur hingga tengah malam. Istrinya sedih sekali dan berulang kali memaksa saya ke kantor polisi setelah berulang kali mengadu ke Pimpinan KBIH hanya mendapat respon ‘berdo’a saja Bu, insyaAllah nanti pulang sendiri atau ada yang mengantarkan pulang’. Saya juga hanya bisa menghela nafas dengan respon yang ‘menggantung’ seperti itu. Tidak mudah juga membujuk ibu tersebut agar bersabar menanti suaminya. Bu Nyai sebuah pondokan di Lumajang tersebut akhirnya tertidur dengan isak tangis karena khawatir dengan suaminya yang berusia 75 tahun yang tidak pernah menggunakan HP dan hanya bisa berbahasa Madura itu masih belum pulang. Alhamdulillah, tepat jam 12 malam, Pak Kyai akhirnya pulang diantar taksi. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak menanyakan ke mana dan bagaimana selama beliau ‘menghilang’ hampir 12 jam tanpa kejelasan tersebut...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun