Tantangan Implementasi UU KIA
Dalam praktiknya, hak atas pendidikan mengenai perawatan dan pengasuhan, anak hanya secara eksplisit diberikan kepada ibu, sedangkan ayah tidak mendapatkan hak yang setara. Perempuan mendapatkan cuti yang jauh lebih lama hingga enam bulan dengan skema penggajian yang mampu dibandingkan dengan ayah yang hanya memperoleh cuti selama 2 hari dan bisa diperpanjang 3 hari tanpa jaminan penggajian yang jelas. Ketimpangan ini tidak hanya memperkuat stereotip gender, tetapi juga berpotensi menimbulkan diskriminasi tidak langsung di dunia kerja, di mana pemberi kerja lebih cenderung mempekerjakan laki-laki untuk mengurangi beban administratif.
Adanya tantangan bagi perusahaan kecil yang harus menanggung beban tambahan berupa pembayaran gaji penuh selama empat bulan pertama dan 75% untuk dua bulan berikutnya, yang berpotensi mengganggu kelancaran operasional serta memicu diskriminasi terhadap pekerja perempuan. UU KIA juga belum mengakomodasi perlindungan terhadap ibu rumah tangga dan pekerja di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga (PRT). Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9%) yang didominasi oleh perempuan.Â
Meskipun UU KIA membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu pekerja menjadi paling lama 6 bulan, implementasinya menghadapi tantangan tersendiri. Cuti tersebut hanya dapat diperoleh dalam kondisi khusus terkait kesehatan ibu dan/atau anak yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Persyaratan ini dapat menjadi hambatan birokratis yang menyulitkan akses perempuan terhadap haknya. Kemudian, lemahnya pengawasan telah menyebabkan banyak perusahaan tidak melaksanakan ketentuan ini secara sungguh-sungguh atau hanya melakukannya di atas kertas agar tidak berdampak pada perizinan perusahaan
Strategi Implementasi Efektif untuk Mencapai Tujuan UU KIA
Perlu melakukan revisi Undang-Undang Cipta Kerja untuk menyelaraskan ketentuan cuti melahirkan 6 bulan dengan skema penggajian progresif (100% gaji 3 bulan pertama, 75% 3 bulan berikutnya).Â
Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga harus dirancang ulang untuk memasukkan hak kesehatan reproduksi dan cuti melahirkan.Â
Melakukan sistem monitoring berbasis teknologi untuk memantau real-time, seperti kepatuhan perusahaan terhadap cuti melahirkan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI