Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 09 Juni 2015
Bagai memantik api di jerami kering, pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK) terkait larangan memutar kaset mengaji di mesjid sontak saja mengundang “keriuhan” para nitizen di media sosial. Pro-kontra akan terus berhembus menuju penjuru yang berbeda dan kemudian berhenti di muaranya masing-masing – tidak akan pernah ada kata sepakat. Memang, apa yang disampaikan JK adalah sebuah topik yang sensitif sehingga dapat memicu “adrenalin” dan mengundang perdebatan yang tidak berkesudahan. Polemik ini akan terus mengalir dan akan berhenti ketika kita semua sudah “jemu” – tanpa ada titik temu.
Dalam konteks zaman, sebenarnya apa yang disampaikan JK merupakan “topik usang”, di mana topik tersebut sudah pernah diperdebatkan dari masa ke masa. Namun demikian, meskipun telah usang, topik tersebut masih saja relevan untuk didiskusikan, mengingat hal tersebut adalah realitas yang tak mungkin dihindari.
Sikap Emosional dan Rasionalitas
Saya kira, apa yang telah disampaikan oleh JK cukup rasional. Kerasionalan itulah yang “memaksa” akal sehat kita untuk menyatakan sepakat dengan wacana yang dilemparkan oleh JK ke hadapan publik Indonesia. Seandainya kita mau jujur dan menggunakan akal sehat untuk berfikir, maka wacana tersebut sudah semestinya kita dukung. Namun jika kita mengedepankan rasa emosional, maka yang muncul adalah penolakan secara membabi buta.
Islam memang bukan agama akal, tapi Islam mendorong kita untuk menggunakan akal dalam menganalisis setiap fenomena yang kita temui dalam kehidupan. “Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”, konsekwensi dari kredo ini adalah tidak dibebankannya hukum kepada anak yang belum akil baligh. Demikian pula dengan orang gila, dia terbebas dari hukum karena akalnya telah hilang.
Analisis Pernyataan JK
Dalam sejumlah pemberitaan dikabarkan bahwa JK mengkritik pengajian melalui kaset yang diputar di mesjid. Menurut JK, pengajian melalui kaset tersebut dapat menyebabkan polusi suara dan juga menganggu warga sekitar. JK menambahkan bahwa jika jarak antara satu mesjid dengan mesjid lainnya hanya 500 meter, maka setelan suara masing-masing mesjid tidak sampai melampaui jarak 250 meter.
Jika dicermati dengan cermat, sebenarnya tidak ada yang aneh dengan pernyataan JK tersebut. Pada prinsipnya, tidak ada yang bisa melarang kita untuk mengaji, karena bagi seorang muslim mengaji itu adalah ibadah. Demikian pula dengan pengajian melalui kaset juga tidak ada larangan. Cuma saja, dalam beribadah kita juga mesti beretika dan saling menghargai. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru mengganggu kekusyukan orang lain yang juga melaksanakan ibadah.
Kita bisa saja berapologi bahwa suara kaset yang keras di mesjid-mesjid sebagai syi’ar, tapi mestinya kita juga paham bahwa syi’ar itu semestinya tidak menganggu hak-hak orang lain untuk beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya dengan tenang. Dalam kondisi tertentu, tidur itu juga ibadah, sehingga mereka juga perlu dihormati.