Mohon tunggu...
Khairi Rudi
Khairi Rudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Khairi rudi

Mahasiswa fakultas syari'ah, IAIN LANGSA.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pentingnya Mempertahankan Adat dan Budaya Tanoh Alas

19 April 2021   12:07 Diperbarui: 19 April 2021   12:12 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

kesadaran pemuda-pemudi dalam melestarikan adat dan budaya daerah

Oleh: Khairi Rudi

Mahasiswa IAIN Langsa, fakultas syari'ah, kpm-ks 2021

Semakin berkembangnya zaman, budaya seakan dilupakan oleh masyarakatnya. Dikarenakan masuknya pengaruh asing sehingga budaya yang sudah ada dan menjadi warisan nenek monyang menjadi semakin terkikis, hal ini dibuktikan kurangnya pengetahuan remaja dan pemuda saat ini mengenai budaya dan tatanan adat istiadat daerahnya masing-masing. Dimana budaya sendiri menjadi lamabang atau icon suatu daerah atau sebagai tanda pengenal, budaya sebagai tanda pengenal contonya : (1) pakaian. cara berpakaian, motif atau desain dari baju melambangkan suatu daerah yang digunakan disaat acara-acara tertentu. (2) bahasa. Bahsa melambangkan suatu daerah atau wilayah yang didiami oleh suku tertentu dengan logat atau cara berbicara yang khas. (3) seni. Dalam suatu daerah atau budaya akan ada seni yang berasal dari daerah itu sendiri. Namun seriring dengan berkembangnya zaman masyarakat mulai lupa akan adat yang telah diwarikan oleh para leluhur.

Didaerah aceh tenggara misalnya, jika mendengar kata tersebut dalam pikiran kita bahwa daerah tersebut dikelilingi oleh pegungan yang ditumbuhi oleh berhagai pepohnan, dan dialiri oleh sungai-sungai yang didiami oleh manyoritas suku alas dan beberapa suku seperti gayo, batak, fak-fak, dan lain seagainya. Namun penyebaran suku alas sendiri meliputi aceh tenggara, subussalam, singkil dan kluet. Masyarakat aceh tenggara sangat bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan kehiduan sehari-hari, umumnya suku alas mengangtungkan hidup dengan betani dan beternak diantara : padi, jagung, karet, coklat, pisang dan lain-lain. Sedangkan dibidang peternakan umumnya warga beternak lembu, kerbau, kambing, ayam, itik petelur, ikan mas dan lain-lain.

Masyarakat aceh tenggara zaman dulu dan sekarang sudah sangat berbeda, ini disebabkan oleh perubahan sudut pandang dan masuknya budaya asing sehingga mempengaruhi pola pikir dan tatanan kehidupan masyarakat terlebih suku alas. Suku alas zaman dulu sudah mendiami tanah alas jauh sebelum konial belanda msuk ke belanda, dan kepercayaan masyakat alas pada masa lalu masih kental akan kepercayaan dinamisme (pemujaan terhadap roh nenek monyang yang telah meninggal dan menetap disuatu tempat tertentu sepeti pohon-pohon yang dianggap keramat atau tempat-tempat tertentu). Namun stelah masuknya agama islam ditanoh alas maka masyarakat mulai memeluk agama islam hingga saat ini, dan suku alas umumnya 100% beragama islam.

Salah satu budaya alas yang sudah mulai terkikis adalah tangis dilo dan melagam dimana dilantukan saat acara tertentu misalnya acara pesenatken (sunat rasul) atau pekawinken (pernikahan, dulu melagam dilantunkan langsung dari mulut oleh seorang wanita yang sudah sepuh atau istri dari tertua adat. Dimana saat ini sudah tiak lagi melaninkan memakai memori card yang disambungkan ke pengeras suara.

Tapi sangat disayangkan saat ini generasi penerus enggan untuk belajar tangis dilo dan melagam, karna kurangnya ambisi muda-mudi suku alas akan melestarikan peninggalan leluhur yang menjadi aset bagi negri tanoh alas itu sendiri.  Biasanya tangis dilo dan melagam dilantukan dengan iringan alat musik yang disebut dengan bangsi, bangsi sendiri adalah sejenis alat musik tiup yang menyerupai seruling, secara fisik seruling dan bangsi tidak ada pebedan sama-sama memiliki tujuh buah lubang, dimana enam lubang untuk bunyi dan satu lubangnya lagi untuk meniukan udara agar menghasilkan sura. Perbedaan diantara keduanya hanya terdapat pada nada dan suara  yang dihasilkan.

Selain tangis dilo dan melagam ada seni saat ini mulai pudar yaitu dikenal dengan sebutan pelebat, pelebat adalah pertunjukan seni yang dimainkan oleh dua orang lekaki, yang diperanka dari pihak mempelai wanita dan pihak dari mempelai laiki-laki. pelebat diartikan dengan memukul, dikarenakan gerakan pelebat yang dimainkan adalah bedari dan salah satu harus kalah.  Alat yang digunakan dalam pelebat terbuat dari bambu natau rotan, pada zaman dulu pelebat memakai pedang.

Historis pelebat, dari cerita orang tua zaman dulu pelebat diawali saat terjadinya perselisihan antara silayakh dan pengulu mudhe untuk merebutkan bekhu dihe, bekhu dihe adalah seorang putri yang sangat cantik dan menawan sehingga menjadi rebutan setiap pria yang melihatnya. Namun hati bekhu dinem hanaya untuk silayakh, karna silayakh adalah pria yang perkasa, gagah dan tampan. Sehingga silayakh dan bekhu dihe saling mencintai akan tetapi medapat halangan dari paman silaakh yang umurnya tidak berjarak jauh dengan silayakh, timbulah dalam hati pengulu mude untuk menghabisi silayakh. Dalam kesempatan tertentu pengulu mude melancarkan aksinya dengan mencincang tubuh siayakh saat sedang tidur, setelah pengulu mude pergi datanglah kakek-kakek berjubah dan bersurban putih, dan menyatukan kembali tubuh silayakh dan membekalinya dengan ilmu kanuragan. Setelah lama belajar ilmu kanuragan tiba saatnya silayakh turun kegunung untuk membalaskan dendamnya dengan kepulu mude, setelah silayakh dan pengulu mude bertemu silayakh menantang pengulu mude bertarung dan yang menang akan menikahi bekhu dinem sekaligus menjadi raja pada saat itu sedangkan yang kalah akan pergi meninggalkan tanoh alas. Tantangan itu di sepakati oleh pengulu mude, terjadilah petarungan yang sangat sengit diantara keduanya. Hingga silayakhlah yang memenangkan pertarungan tersebut. Dan sampai sekarang peristiwa itu dikenang dengan membuat seni berbentuk beladiri yang   disebutan pelebat oleh masyarakat suku alas.

Dengan adayanya pekan seni yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten aceh tenggara pada tahun 2019 menjadi sarana untuk pemuda-pemudi saat ini menjadi lebih tahu akan budaya dan seni adat alas, namun sampai saat ini belum ada pelestraian adat yang menjadi sarana belajar bagi generasi muda. Seni yang dapat dipelajari hanya disekolah saja itupu ketika ada perlobaan atau iven tertentu, itupun hanya berupa tarian dan umumnya pemerannya hanya wanita saja. Adapun adat yang masih kental dan terjaga sampai saat ini adalah adalah pekojeken (pesta adat), pekudeken tradisi naik kuda ini tidak menentukan umur atau gender baik yang tua dan muda tidak membedakan umur dan biasanya pekudeken diadakan saat acara pernikahan dan sunatan. Biasanya pekudeken diarak oleh semua kerabat dan keluaraga beserta masyarakat yang masih satu kampung dengan penyelenggra acara dengan posisi satu orang sebelah kanan kuda, satu orang disebelah kiri kida sekaligus memegang payung adat alas, satu orang didepan kuda sebagai pemandu agar kuda tidak lari ataupun bergerak secara spontan sehingga orang yang berada diatasnya tidak terjatuh. Selanutnya pada zaman dulu masyarakat mengikuti dari belakang dengan berjalan kaki sehingga jika dilihat sepeti perjalanan seorang dan pengawalnya. Namun saat ini kebanyakan msyarakat memilih naik kendaran ruda dua, tiga bahkan roda empat, karna jarak yang ditempuh sampai beberapa kilometer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun