Fiqh kontemporer hadir sebagai kebutuhan yang tidak terelakkan dalam dinamika umat Islam saat ini. Perkembangan teknologi, globalisasi, hingga perubahan sosial yang cepat telah melahirkan berbagai persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa klasik. Oleh karena itu, fiqh tidak cukup hanya terpaku pada teks dan konteks masa lalu. Diperlukan pembacaan ulang terhadap maqashid al-syari'ah agar hukum Islam senantiasa hidup dan aplikatif. Fiqh kontemporer menjadi jembatan antara ajaran klasik yang bersumber dari wahyu dengan realitas kekinian yang kompleks dan multidimensi.
Sebagai disiplin ilmu, fiqh kontemporer bukan berarti meninggalkan khazanah turats (warisan keilmuan Islam klasik), tetapi justru melakukan revitalisasi terhadapnya. Para ulama modern memiliki peran penting untuk menggali ijtihad yang sesuai dengan kebutuhan zaman, namun tetap berakar pada prinsip-prinsip syariat. Misalnya, dalam isu keuangan syariah, transplantasi hukum lama tidak lagi mencukupi, sehingga muncul konsep-konsep baru seperti sukuk, akad murabahah, hingga fintech syariah. Ini menunjukkan bahwa fiqh bukanlah dogma yang beku, melainkan lentur dan mampu bertransformasi seiring perkembangan zaman.
Namun, tidak sedikit pihak yang meragukan fiqh kontemporer karena dianggap terlalu liberal atau menyimpang dari pendapat jumhur ulama. Padahal, fiqh adalah hasil pemikiran manusia yang sangat dipengaruhi oleh konteksnya. Menolak fiqh kontemporer tanpa memahami urgensinya sama saja dengan mengabaikan kenyataan hidup yang terus berubah. Sebaliknya, menerima fiqh kontemporer secara membabi buta juga berbahaya jika tidak disertai prinsip ilmiah dan kesadaran maqashid. Oleh sebab itu, diperlukan keseimbangan antara kekuatan teks dan semangat kontekstualisasi.
Fiqh kontemporer juga berperan dalam merespons isu-isu etika global seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, hingga keadilan gender. Dalam hal ini, Islam melalui fiqh kontemporer mampu menunjukkan wajah yang solutif dan humanis. Prinsip la dharara wa la dhirar (tidak membahayakan dan tidak saling membahayakan) menjadi landasan kuat dalam menjawab berbagai tantangan baru. Bahkan, konsep ini mampu menjadi jembatan dialog antarperadaban dalam isu-isu universal yang menyentuh kemanusiaan secara luas.
Diperlukan keberanian intelektual dan kebijaksanaan spiritual dalam mengembangkan fiqh kontemporer. Para akademisi, ulama, dan tokoh agama perlu bersinergi untuk membangun kerangka fiqh yang dinamis, kontekstual, dan tetap berlandaskan pada nilai-nilai dasar Islam. Tidak hanya berhenti pada fatwa, tetapi juga pada pendampingan umat agar mampu memahami agama secara menyeluruh dan solutif. Pendidikan keagamaan pun harus diarahkan pada pengembangan nalar kritis dan etis agar generasi muslim mampu menjawab tantangan zaman dengan keyakinan yang cerdas.
Akhirnya, fiqh kontemporer bukanlah ancaman terhadap keaslian Islam, melainkan peluang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel, solutif, dan selaras dengan perkembangan zaman. Dalam bingkai maqashid syari'ah, fiqh akan selalu menjadi jawaban atas pertanyaan hidup manusia yang terus berubah. Maka, kita tidak perlu takut pada perubahan, selama perubahan itu berpijak pada nilai dan ruh keadilan Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI