"Aku merah maka aku ada." Kalimat ini mungkin terdengar seperti mantra absurd, bahkan provokasi murahan, di negeri yang selama puluhan tahun memandang warna merah khususnya merah komunis sebagai noda berbahaya. Tetapi justru dalam absurditas itu terdapat peluang untuk menggugat ulang apakah kita benar-benar paham arti merah dalam sejarah kita, atau hanya mewarisi trauma yang diproduksi oleh propaganda?
Merah dalam tradisi politik global adalah warna perlawanan, warna yang lahir dari peluh buruh dan darah petani. Karl Marx menyebut sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Merah menjadi simbol mereka yang tertindas dan mencoba meraih tempat dalam panggung sejarah. Di Indonesia, warna itu pernah hidup dalam wajah PKI, partai yang bukan sekadar organisasi politik, tetapi juga gerakan massa terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Uni Soviet. Mereka mengorganisir buruh, mengajarkan petani membaca, bahkan menghidupkan seni rakyat. Bahwa kemudian sejarah mengabadikan PKI sebagai pengkhianat, itu karena pemenanglah yang menulis kisahnya.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, "Sejarah adalah milik para pemenang." Dan pemenang dalam peristiwa 1965 adalah mereka yang menutup mata terhadap keragaman tafsir, lalu mengunci narasi dalam satu film panjang yang diputar tiap September. Akibatnya, generasi setelahnya hanya tahu komunis lewat adegan penyiksaan, jeritan malam, dan tubuh-tubuh yang dilempar ke lubang. Tidak ada cerita tentang organisasi tani, tidak ada cerita tentang teater rakyat, tidak ada cerita tentang kaum miskin kota yang bermimpi keadilan sosial. Semua itu dihapus, dikubur bersama jutaan nyawa yang dibantai.
Maka mengatakan "aku merah maka aku ada" bukanlah deklarasi ideologis, melainkan deklarasi eksistensial. Aku ada karena berani menghadapi sejarah yang retak. Aku ada karena menolak tunduk pada narasi tunggal yang menakut-nakuti tanpa memberi ruang bertanya. Aku ada karena sadar bahwa merah betapa pun dilarang pernah menjadi bagian dari denyut bangsa ini.
Michel Foucault mengingatkan bahwa pengetahuan selalu terkait dengan kuasa. Ketika Orde Baru melabeli merah sebagai bahaya laten, itu bukan semata soal ideologi, tapi juga strategi untuk membungkam oposisi, mematikan diskusi, dan mengamankan kursi kekuasaan. Sementara itu, Benedict Anderson dan Ruth McVey melalui Cornell Paper menunjukkan bahwa G30S lebih kompleks daripada sekadar "kudeta PKI." Di sana ada tarik-menarik internal militer, ada bayang-bayang CIA, ada kepanikan global akibat Perang Dingin. Tetapi kompleksitas itu sengaja disederhanakan menjadi film horor politik.
Merah, dengan demikian, bukan hanya soal ideologi, melainkan soal keberanian untuk mengingat. Mengingat bahwa bangsa ini pernah membantai anak bangsanya sendiri. Mengingat bahwa ada sejarah yang dipelintir agar sesuai dengan selera rezim. Mengingat bahwa dalam setiap luka ada pengetahuan yang harus digali.
Lenin pernah berkata, "Revolusi adalah perayaan kaum tertindas dan kaum yang tidak puas." Bagi Indonesia, tragedi 1965 seharusnya menjadi perayaan kesadaran baru, bahwa bangsa ini tidak boleh lagi hidup dalam ketakutan pada ide, betapa pun asing atau radikalnya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kita menjadikan kata "komunis" sebagai hantu yang menakuti, padahal hantu itu hanya bisa hidup jika kita berhenti berpikir.
Aku menulis ini karena ingin melihat merah tidak sebagai musuh, melainkan sebagai pelajaran. Aku ingin menjadikan komunisme bukan sebagai dogma yang harus diikuti, melainkan sebagai pengetahuan yang harus digali, diteliti, dan dihadapkan pada kebenaran. Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutupi lukanya, melainkan yang berani membedahnya.
"Aku merah maka aku ada" adalah teriakan melawan sunyi sejarah. Ia adalah cinta yang lahir dari keberanian menghadapi trauma, bukan dari romantisme ideologi. Ia adalah ajakan untuk melihat bahwa di balik darah dan luka, ada pengetahuan yang bisa menyelamatkan bangsa dari pengulangan kesalahan.
Dan jika benar sejarah adalah guru terbaik, maka merah adalah salah satu halaman buku yang paling berdarah, paling menyakitkan, tetapi juga paling berharga untuk dipelajari.