Mohon tunggu...
Keren Agustien Martina Umboh
Keren Agustien Martina Umboh Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Believe you can and you're halfway there

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi China dalam Cyber Diplomacy: Sebagai Prioritas dan Tujuan Utama untuk Memberantas Cyber Crime

2 Desember 2021   14:00 Diperbarui: 2 Desember 2021   22:19 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image source: asiatimes.com

China merupakan negara maju yang mempunyai kekuatan untuk menciptakan kecanggihan dan pembaharuan dalam hal teknologi cyber. Walaupun hebat dalam kemajuan cyber, China tidak luput dari ancaman cyber, dan membuat pemerintah melakukan langkah defensif dan reaktif pada global governance. Presiden Xi Jinping membuat suatu kebijakan luar negeri yang memiliki tiga tujuan utama yaitu membatasi ancaman internet dan arus informasi yang dapat menimbulkan stabilitas rezim domestik dan legitimasi, membentuk cyberspace untuk memperluas pengaruh politik, militer, dan ekonomi China dan melawan keunggulan AS di dunia maya. Sehingga, China mengejar dan mengelola interaksi negara-negara dengan upaya untuk menghasilkan norma-norma internasional yang memperkuat dan mendukung kontrol domestic atas banyaknya informasi dan data.

Upaya China dalam kebijakan luar negerinya yang tradisional membuat cyber diplomacy nya berakar pada non-intervensi dalam hal urusan internal, equal participation, bantuan pembangunan dan pemgembangan kapasitas, serta dukungan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga multilateral lainnya. Kunci utama dari upaya China adalah gagasan tentang kedaulatan cyberspace atau Internet. Seperti yang dijelaskan oleh Presiden Xi Jinping di World Internet 2015 Konferensi di Wuzhen, kedaulatan cyberspace berarti “menghormati hak setiap negara untuk memilih jalur pengembangan Internetnya sendiri, model manajemen Internetnya sendiri dan kebijakan publiknya sendiri di Internet.” Prinsip pertama yang tercantum dalam tahun 2016 sebagai strategi cyber nasional yaitu “menghormati dan melindungi kedaulatan cyberspace.” (Segal, 2017).

Sebelum membahas lebih jauh mengenai cyber diplomacy di China, kita akan mengenal lebih dalam mengenai cyber diplomacy itu sendiri. Cyber diplomacy dapat didefinisikan sebagai diplomasi dalam domain cyber atau dengan kata lain yaitu penggunaan sumber daya diplomatik dan pelaksanaan fungsi diplomatik untuk mengamankan kepentingan nasional terkait dengan dunia maya atau cyberspace. Kepentingan seperti itu umumnya diidentifikasi di ruang cyber nasional atau strategi keamanan cyber, yang sering kali menyertakan referensi ke agenda diplomatik. Saat ini interaksi yang diterapkan oleh para aktor hubungan internasional tidak hanya pada ruang darat, laut dan udara akan tetapi interaksi antar aktor juga melingkupi cyberspace yang menjadi pilihan lain untuk mencapai suatu kepentingan. Bertambahnya ruang interaksi ini dapat memperluas makna power dalam hubungan antar negara. Kekuatan yang berasal dalam ruang darat, laut, udara lebih mudah untuk dicari standarisasinya, sebaliknya cyberspace dapat mengaburkan standarisasi power tersebut. Cyberspace menjadi ruang dan juga suatu sarana baru dalam mencapai kepentingan yang kemudian dikenal dengan cyberpower. Cyberpower dapat dipahami sebagai seperangkat sumber daya yang dihubungkan dengan pembuatan, pengawasan, dan komunikasi elektronik, infrastruktur informasi berbasis komputer, jaringan, software dan kemampuan manusia. Jaringan yang dimaksud diatas tidak sebatas jaringan internet saja namun juga Intranet, teknologi berbasis seluler dan ruang berbasis komunikasi lainnya. Keamanan dalam cyberspace semakin mendapat prioritas pemerintahan di dunia khususnya China. Kekhawatiran terhadap dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh internet mendorong negara melakukan pengaturan yang lebih tepat terhadap penggunaan internet di negaranya. Dalam sebuah laporan disebutkan setidaknya ada beberapa negara di dunia yang secara terang-terangan membatasi kebebasan penggunaan internet yaitu China, Kuba, Korea Utara, Belarus, Myanmar, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, Suriah, Tunisia, Turkmenistan, Uzbeskistan dan Zimbabwe.

Isu-isu utama dalam agenda cyber diplomacy termasuk cybersecurity, cybercrime, confidence building, kebebasan internet, dan tata kelola internet. Oleh karena itu, cyber dipomacy dilakukan seluruhnya atau sebagian oleh para diplomat, yang bertemu secara bilateral format umum (seperti dialog AS-China) atau dalam forum multilateral (seperti di PBB). 

Di luar kewenangan diplomasi tradisional, diplomat juga berinteraksi dengan berbagai aktor non-negara, seperti pemimpin perusahaan internet (Facebook atau Google), pengusaha di bidang tekonolgi atau organisasi masyarakat sipil. Diplomasi juga dapat melibatkan pemberdayaan suara-suara tertindas di negara lain melalui teknologi. Sementara hal ini mengatur jangkauan kegiatan yang cukup luas, memungkinkan kita untuk secara tegas menempatkan cyber diplomacy sebagai lembaga masyarakat internasional, bahkan ketika berinteraksi dengan aktor masyarakat dunia (Renard, 2017).

Kompleksitas konteks sosial, politik, kelembagaan, dan ekonomi China membuatnya sulit untuk membangun, menerapkan, dan menegakkan norma-norma cyber internasional tentang perilaku negara yang bertanggung jawab di cyberspace. Ini berasal dari kesulitan dalam menentukan tingkat arah negara dan kontrol atas entitas yang terlibat dalam operasi eksploitasi dunia maya. Yang paling penting, ini berasal dari Partai Komunis China yang mempunyai keterikatan dalam ekonomi dan gagasan keamanan nasional yang luas dan menyeluruh dalam kerangka hukum pemerintah dan undang-undang.

Menelusuri silsilah “keamanan nasional” hingga hari ini, tuntutan internasional saat ini untuk reformasi struktural model ekonomi China dan tekanan pada China yang didukung dan disubsidi negara raksasa telekomunikasi telah ditafsirkan sebagai melanggar kepentingan inti China dari “ekonomi” kedaulatan" dan kemampuan industri nasional yang berkembang untuk menangkap petak besar dunia rantai pasokan teknologi. “Tanpa cybersecurity, tidak ada keamanan nasional, dan tanpa informasi, tidak ada ekonomi modernisasi” hal ini diumumkan oleh presiden Xi Jinping pada tahun 2014. China menganggap teknologi digital sebagai bahan bakar vital bagi kebangkitan ekonomi negara itu dalam beberapa dekade mendatang. 

Di atas segalanya, teknologi baru sangat penting untuk memperluas kekuasaan Partai suatu negara, memperkuat kontrol pusat atas kehidupan individu, dan menumbuhkan lingkungan opini publik yang konsisten dengan tujuan Partai. Di sisi lain, cara-cara baru dan kuat untuk menyebarkan informasi memperkuat tantangan untuk kekuasaan rezim dan legitimasinya. Cyberspace menawarkan peluang baru untuk bermacam-macam gerakan perlawanan yang penting bagi rezim untuk bersatu, membentuk gerakan oposisi dan bahkan memobilisasi dan menentang kelanjutan kekuasaan rezim. 

Untuk alasan ini, kepemimpinan Partai Komunis China mengkonseptualisasikan dua jenis cybercrime yaitu ancaman melalui dunia maya atau bentuk operasi berbasis dunia maya yang berpotensi merusak stabilitas sosial atau menumbangkan legitimasi rezim dan mempertahankan kekuasaan melalui manipulasi informasi dan ancaman terhadap dunia maya atau kemampuan dunia maya yaitu bergaya konvensional yang mengganggu, merusak, menyabotase, menumbangkan, menghancurkan atau mengganggu fungsi komputer dan sistem jaringan, kritis infrastruktur atau data.  (Bozhkov, 2020)

Dan contoh dari hambatan terlaksana nya cyber diplomasi karena adanya perang cyber antara China dengan Amerika Serikat, sehingga hal ini memicu China untuk memaksimalkan kekuatan cyber yang berteknologi tinggi sebagai antisipasi perang karena pihak lawan yaitu Amerika Serikat juga menggunakan cyber teknologi pada peralatan perangnya. Sehingga motivasi China menguasai cyber teknologi adalah sebagai antisipasi perang dengan Amerika Serikat. (Meisitha, 2014). Dan juga Amerika Serikat merasa terancam dengan perkembangan teknologi artificial intelligence buatan China. Hal ini dikarenakan privasi dan keselamatan yang menjadi bahan pertimbangan negara adikuasa Amerika Serikat. 

China yang menganut paham komunisme mewajibkan perusahaan untuk membantu pekerjaan intelijen nasional dengan memberikan otoritas akses ke datanya yang mengakibatkan beberapa negara mempertimbangkan kembali menggunakan teknologi AI dari China atau perusahaan Huawei yang merupakan perusahaan China sebagai pencetus pertama. Adanya kontrol dari Pemerintah China itulah yang menyebabkan Amerika Serikat merasa tidak aman (Minchah, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun