Mohon tunggu...
Kennia Wikanditha
Kennia Wikanditha Mohon Tunggu... Guru - Akun Tugas

Mahasiswa Program Pascasarjana di UNS S2 Ilmu Linguistik - Penerjemahan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Gendut", Satu Kata Berjuta Makna

26 Desember 2020   22:15 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:20 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bahasa merupakan hal yang sangat esensial dalam kehidupan bermasyarakat, salah satu fungsi nya adalah dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan. Untuk itu bahasa sangat terikat dengan budaya dan norma yang berlaku dalam suatu komunitas. Selain digunakan untuk menunjukkan rasa solidaritas terhadap sesama, bahasa juga acap kali digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang berada di kasta tertentu dalam masyarakat.

Seperti yang dituliskan oleh Coupland and Jaworski (1997), cara bicara seseorang akan berbeda, tergantung kepada siapa ia berbicara, topik pembicaraannya, serta tempat atau setting dimana pembicaraan itu terjadi. Lebih lanjut, sebelum berkomunikasi satu dengan yang lainnya, penutur harus mempertimbangkan konteksnya, apakah itu informal ataupun formal. Hal lain yang harus diperhatikan penutur adalah hubungan sosial nya dengan mitra tutur, contohnya adalah faktor umur, faktor senioritas, faktor latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Dalam prosesnya, seringkali penutur dengan sadar maupun tidak akan merefleksikan status sosial dan juga solidaritas dalam tuturannya. Brown and Gilman (1960) dalam bukunya mengungkapkan jika dalam suatu percakapan, seorang penutur dan mitra tutur tidak mungkin berada di status sosial yang sama, salah satu dari keduanya memegang kendali percakapan karena status yang dipunyai. Kemudian hal ini memunculkan istilah -- istilah sebagai berikut: inferior, superior, equal, solidary, dan not solidary. 

Singkatnya, inferior adalah ketika seseorang memiliki status sosial yang lebih rendah daripada yang lainnya. Superior adalah ketika seseorang memiliki status sosial yang lebih atau paling tinggi diantara yang lain. Equal adalah ketika seseorang memiliki status sosial yang sejajar. Solidary (solider) berarti ketika seseorang memiliki rasa toleransi atau rasa senasib sepenanggungan dengan yang lain dan non solidary (non-solider) berarti sebaliknya. Dalam suatu hubungan, tidak selalu dua orang yang sejajar (equal) berarti mereka memiliki rasa solidaritas diantara mereka, bisa saja mereka tidak berbagi rasa solidaritas.

Sebagai contoh, di negara barat, sangat lazim bagi mahasiswa untuk memanggil dosennya tanpa menyebut gelar sang dosen. Namun, di negara kita, hal ini menjadi sangat tak wajar. Tidak mungkin kita sebagai orang Indonesia memanggil dosen kita tanpa menyebutkan gelar seperti Prof, Dok, ataupun Pak. Hal ini akan dipandang sebagai tindakan yang kurang sopan dan tidak etis. Contoh lain terjadi pada hubungan keluarga. Di negara barat, beberapa orang akan memanggil nenek atau kakeknya dengan namanya saja, misalnya John. Tidak harus dengan Grandpa John, dan sang kakek tidak akan tersinggung jika cucunya memanggil namanya saja tanpa sisipan grandpa. Berbeda jika hal itu kita terapkan di Indonesia. Orang pasti akan mengira kita bersikap kurang ajar ketika kita memanggil nenek atau kakek kita tanpa sisipan Eyang, Mbah, Oma, ataupun sebutan yang sejenis. Lebih lanjut, cara bicara seorang manajer kepada bawahannya akan berbeda ketika si manajer berbicara kepada pemilik perusahan. Cara bicara seorang mahasiswa akan berbeda ketika ia berbicara dengan dosennya dan teman sepergaulannya. Hal ini menjadi sangat menarik untuk diteliti karena menjadi bukti bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari banyak faktor, salah satunya faktor sosial di lingkungan masyarakat.

Yang akan diulas dalam artikel ini adalah kata gendut. Dalam KBBI, gendut berarti besar dan seakan-akan bergantung (tentang perut). Namun, dewasa ini gendut sering digunakan sebagai kata sapaan. Terdapat pergeseran makna dari kata sifat ke kata benda (nomina). Hal ini sangat lazim terjadi mengingat bahasa bersifat arbitrer dan dinamis, yang artinya bahasa bisa berubah sewaktu -- waktu tergantung pada penggunanya. Jika dikaitkan dengan teori power and solidarity yang sudah dijabarkan diatas, kata gendut bisa digunakan untuk menunjukkan keduanya.  

Mari kita cermati ilustrasi percakapan dibawah ini.

Konteksnya adalah segerombolan pemuda yang bersahabat satu sama lain, mereka sedang asyik bermain game saat satu temannya datang terlambat.

Pemuda 1           : "Eh Gendut, kemana aja kamu kenapa baru datang jam segini?"

Pemuda 2           : "Iya Ndut. Kita sudah disini sejak dua jam yang lalu."

Si pemuda yang dipanggil gendut oleh temannya tersenyum lebar kemudian duduk di sebelah Pemuda 1. Sambil tersenyum ia kemudian berkata, "Sorry bro. Aku tadi ada urusan mendadak."

Pemuda yang dipanggil gendut tidak marah dengan yang lain karena adanya rasa solidaritas diantara mereka. Hal ini ditunjukkan dengan kata bro ketika ia merespon tuturan teman nya. Bro adalah salah satu pronomina yang diadaptasi dari Bahasa Inggris. Dahulu, kata gendut digunakan untuk mendeskripsikan bentuk tubuh seseorang, namun sekarang ini sudah lazim digunakan sebagai pronomina dalam pergaulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun