Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguak Pengaturan Perkara, Hakimpun Dapat Memalsukan Fakta Persidangan.

3 Oktober 2016   02:20 Diperbarui: 3 Oktober 2016   02:49 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persidangan pembunuhan Mirna yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi secara lengkap mungkin baru kali ini terjadi di Indonesia dan mengundang pendapat pro kontra. Sidang terbuka semacam itu , bukan saja untuk menggali kebenaran namun sekaligus menjadi kontrol kinerja aparatur penegak hukum oleh publik. 

Menyitir statemen Kapolri menanggapi kesaksian Jessica, penyidik memiliki tehnik untuk membuat tersangka ngaku, tidak ada maling yang bersedia mengaku yang merupakan jawaban normatif. Jika dibalik, mana ada penyidik yang mengaku bersalah. Demikian juga dalam persidangan Jessica, dari fakta persidangan yang banyak diwarnai perdebatan, saling menyerang merupakan sebuah gambaran bahwa persidangan tersebut sudah bergeser menjadi ajang salah menyalahkan yang pada akhirnya keluar dari konteks mengungkap kebenaran.

Namun sesungguhnya, dalam prakteknya kewenangan melakukan penyidikan dengan target menahan seseorang bisa jadi berubah menjadi kepentingan pihak tertentu yang digunakan sebagai alat penekan. Dalam politik sama saja, hukum dapat digunakan sebagai penekan agar rakyat patuh seperti dalam hal penggusuran di DKI yang menarik pemberitaan.

Namun, jika hukum pidana merambah kepada masalah bisnis atau kepemilikan, jika tidak memahami undang-undang justru menjadi bumerang yang menimbulkan masalah lain.  Seperti halnya statemen kapolri, tidak ada maling yang mau mengaku, apakah ada aparatur hukum mau mengakui kesalahan ? Tercermin dari persidangan Jessica yang nampak adalah saling menang2an yang cenderung sudah menjustifikasi terdakwa sebelum pembuktian karena pada dasarnya aparatur tidak rela disalahkan.

Ketika saya menghadapi masalah hukum, saya ikuti saja tanpa pembelaan sebab pembelaan hanya kesempatan formalitas yang pada dasarnya jika tidak terbukti akan menjadi masalah pada aparatur itu sendiri sehingga timbul kecenderungan harus bersalah walaupun saya tau bukti yang disampaikan dalam persidangan adalah hasil sebuah rekayasa.

Upaya yang saya lakukan adalah menggugat saksi, dengan cara seperti itu sidang gugatan dapat digunakan sebagai  sarana investigasi layaknya penyidik. Setelah saya baca pertimbangan hakim tidak mengabulkan gugatan saya terhadap seorang notaris yang menerbitkan covernote untuk sebuah bank dan mengalihkan sebagian hak tanah milik perseroan tanpa menggunakan anggaran dasar perseroan, saya yakini inilah celah pengaturan hukum, dikabulkan atau tidak terletak pada pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta persidangan. Dari fakta persidangan tersebut indikasi rekayasa hukum bisa didapatkan secara tertulis.

Sebelumnya. dalam perkara pidana, pelapor dan saksi-saksi menyatakan pembayaran telah dilunasi walaupun tidak ada bukti pembayaran untuk menyatakan saya telah menjual perseroan dan assetnya sebagai landasan untuk membidik penggunaan kop  surat. Dalam pertimbangan hukum dalam gugatan kepada Notaris yang memberikan kesaksian  di kepolisian,  berdasarkan kesaksian yang saya hadirkan, hakim mengganti kesaksian saksi  yang saya hadirkan menyatakan belum selesainya pembayaran  terhadap tanah atas nama perseroan , diganti menjadi sudah dilunasi tentu saja karena sudah dilunasi. Mengganti fakta persidangan tersebut tujuannya agar tidak ada perbuatan melawan hukum seperti isi gugatan saya.  Langsung saya mengajukan upaya banding dengan satu alasan diduga terjadi pemalsuan keterangan saksi dalam pertimbangan yang tertulis dalam putusan namun hingga saat ini belum ada putusan banding hampir 6 bulan lamanya.

Bersamaan waktunya saya melaporkan tindakan Notaris/PPAT yang diduga melakukan penyimpangan dalam menerbitkan akta jual beli  dan menerbitkan covernot yang akhirnya dilakukan pengusutan oleh inspektorat BPN. Bahkan akhirnya saya ketahui, BPN membatalkan APHT dan melakukan blokir sertifikat. Karena  tanah sudah dijaminkan pada bank lain dan kredit sudah cair, Bank yang tidak bisa mengikat jaminan , rumah pribadi pelaku dipaksa dijual untuk membayar pinjamanya.

Terkuaklah, bank telah memberikan kredit kepada pelaku, sebut saja kepada Bajul tanpa agunan karena APHT dibatalkan oleh BPN, lebih dari itu bank mengakui tanah yang beralih kepada Bajul melalui notaris yang saya gugat tidak dapat diikat jaminan. Jawaban tertulis dari bank tersebut mungkin tidak diduga untuk saya gunakan sebagai dasar gugatan yang sangat valid, pengakuan dari bank itu sendiri tentang dugaan pelanggaran perbankan.

Proses hukum yang berawal dari kepolisian ini, Bajul melaporkan pengacara saya dengan alasan perseroan dan assetnya berupa tanah telah saya jual atas sangkaan pemalsuan kop surat karena pengacara membuat sanggahan dengan menggunakan kop perseroan.  Penyidik dalam hal ini tidak menggunakan anggaran dasar perseroan dan tidak meminta kesaksian pihak yang berkompeten. Padahal, penjualan asset maupun penjaminan harus persetujuan RUPS yang diatur dalam anggaran dasar dimana saham mayoritas mutlak ( 75 % )  milik saya. 

Indikasi, Bajul melapor ke polisi atas pelanggaran kop surat menjadi semakin kuat untuk menutupi dugaan pelanggaran perbankan dengan adanya pengakuan jaminan tidak dapat diikat APHT oleh bank. Pembatalan APHT oleh BPN tentunya harus memiliki alasan karena menyangkut produk hukum. Akhirnya saya diundang oleh BPN untuk berdamai. Yang menjadi pertanyaan saya berdamai dengan siapa ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun