Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berbohong dalam Politik adalah Strategi, Bank Berbohong Apa Jadinya?

27 Juli 2016   03:11 Diperbarui: 27 Juli 2016   13:58 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhirnya menjadi sebuah keasyikan tersendiri bagaimana mengahadapi prilaku hukum, jebak menjebak menjadi bagian keseharian pengacara yang tidak mau terlibat dalam praktik suap, menjebak teman seprofesinya yang suka nyuap. Bukan dibongkar parktik suapnya, tapi makin didorong agar menjadikan para pelaku menjadi ATM lebih besar lagi.

Kalau kemenangan berasal dari bebrbohong dan praktik suap, selamanya akan berbohong dan terjerumus kubangan yang semakin dalam. Seperti apa yang dilakukan oleh pengacara saya, bertanya kepada bank, mengapa jaminan dibatalkan atau ditukar ? Jawabanya bank karena tanah terblokir, jawaban yang jujur karena yang melakukan pemblokiran adalah saya sehingga jaminan ditukar dengan asset lainnya.

Bank tidak boleh berbohong, akan berpengaruh kepada performance dan aturan yang berlaku karena bank selain menyalurkan pinjaman juga menghimpun dana masyarakat terikat dengan peraturan yang ditetapkan oleh lembaga pengawas keuangan. Sayangnya, lembaga keuangan juga sudah terjangkit budaya atur mengatur yang diduga dibelakangnya berbau suap yang sulit dibuktikan.

Berawal dari jawaban OJK atas laporan saya, jaminan bank milik saya berpindah ke bank lain tanpa sepengetahuan saya. Jawaban saya terima dari OJK bukan scope fungsi OJK karena menyangkut perselisihan saham. Laporan saya apa, jawaban kemana tidak nyambung untuk alasan tidak menjadi kewenangan OJK.  Membaca jawaban yang demikian, saya lakukan somasi notaris, notarispun jujur menjelaskan secara tertulis tidak menyerahkan dokumen-dokumen kepada saya melainkan kepada pihak lain. Berdasarkan jawaban tertulis tersebut, saya buat laporan polisi tentang dugaan penggelapan dokumen. Setelah notaris di Verbal, baru saya jelaskan kepada penyidik, saya membuat laporan bukan mengenai isi dokumen, bagaimana saya tau isi dokumen karena dokumen digelapkan. 

Mau tidak mau harus membuat sebuah drama hukum untuk menjawab sebuah kebohongan, kalau didepan sudah bohong, akan ditutupi oleh kebohongan lainnya. Dan atas jawaban bank tersebut yang saya nilai sudah berbohong, kebohongan bersama-sama terjadi untuk menutupi kebohongan lainnya sehingga terjebak sendiri, darimana OJK berpendapat terjadi perselisihan saham sedangkan dokumen yang seharusnya diserahkan kepada saya digelapkan ?

Padahal yang terjadi adalah, dokumen perseroan milik saya digelapkan digunakan untuk mencari kredit dan kredit itu digunakan untuk menebus jaminan saya seolah-olah terjadi take overkredit, perseroannya sama tapi orangnya berbeda. Perseroan adalah barang mati, yang hidup manusianya, manusia yang hidup itu menggunakan perseroan milik saya dengan cara diduga memalsukan dokumen.

Cerita pengalaman diatas adalah prilaku yang saya jumpai dalam praktek pengawasan perbankan di Indonesia, sama halnya terjadi negara belahan dunia manapun untuk menciptakan hubungan perbankan yang saling percaya antar negara. Perbankan China atau negara lain  tidak boleh melakukan intervensi perbankan lain negara seperti di Indonesia maka dalam hal pemberian pinjaman, jaminan yang dipegang adalah negara.  

Namun politik bisa berkata lain karena berbohong adalah strategi. Ketika kampanye pilpres 2014, proyek monorel yang kabarnya akan didanai oleh perbankan China sangat diyakini akan terwujud.

Padahal bisa terwujud kalau pemerintah Indonesia memberikan garansi kepada pemerintah China sedangkan proyek itu milik swasta. Begitu gencarnya proyek tersebut dijadikan keberhasilan kota Jakarta dan bahkan untuk lebih meyakinkan dilakukan ground breaking, nyatanya proyek itu hanya tinggal kenangan karena tidak mendapat persetujuan DPR untuk menggaransi atau rakyat memberikan garansi untuk penguasaha swasta.

Rakyat begitu antusias mendukungnya karena tidak faham dunia perbankan yang dipolitikan dan justru yang berkembang saat ini adalah wacana tidak lagi memenjarakan koruptor karena alasanya penjara tidak membuat jera.

Perbuatan korupsi adalah menyengsarakan rakyat, tapi dalam politik dapat diplintir sebagai perbuatan yang tidak berdosa karena sulitnya memberantas korupsi. Kalau korupsi dinilai sebagai tindakan yang legal dalam politik, buat apa ada lembaga penindak, dibentuk saja lembaga perundingan korupsi. Mau dikemanakan negara ini ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun