Kalau di DPR terjadi perseteruan koalisi pemerintah dan oposisi, namun tidak demikian dalam pilkada, berseteru di di DPR namun berangkulan di pilkada mengusung calonya yang akan berkompetisi menduduki jabatan kepala daerah.
Inilah prilaku parpol yang memperoleh kursi dari hasil pemilihan langsung yang tergantung dari performance tokoh yang mendatangkan kursi dalam perwakilan. Sehingga, boleh dikata, suara rakyat itu seperti sudah terjual dan sudah menjadi kursi yang merupakan syarat dapat mengusung tokoh untuk berkompetisi dalam perebetutan kedudukan.
Yang paling menarik adalah pemilihan kepala daerah DKI, Â Ahok yang semula diprediksi tanpa tandingan akhirnya terjungkal walau didukung parpol pemenang pemilu. Ini menandakan, bahwa rakyat pemilih bukan militan partai tetapi lebih militan kepada tokohnya, apapun partainya. Â Sedangkan partai lebih cenderung sebagai kendaraanya maka bisa terjadi jika di DPR berseteru, dalam pilkada sebaliknya berangkulan.
Namun dibalik itu semua, karena terjadi ketergantungan pada figur tokoh tak pelak lagi timbul fenomena politikus kutu loncat yang karena peraturan, parpol berfungsi sebagai kendaraan politik. Dibalik itu semua, apa yang dikeluarkan oleh tokoh tersebut untuk pembiayaan menciptakan performance menjadi investasi politik.
Jika politik dianggap sebuah investasi, maka akan diperhitungkan laba ruginya. Â Sehingga terjadi, gaji itu bukan target income pengembalian investasi, rentan pada tindakan korupsi. Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK Â menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, Â 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya.
Sepanjang 2017 saja, dari berbagai operasi tangkap tangan yang dilakukan  KPK, ada 5 kepala daerah yang terjaring atas dugaan tindak pidana  korupsi. Tentu saja ini memprihatinkan, namun jika kita melihat besanya biaya politik yang harus ditanggung kontestan, menjadi kepala daerah seolah menjadi arena adu nyali.
Banyaknya kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi menandakan bahwa tindakan korupsi bukan menjadi tindakan yang diharamkan melainkan menjadi tindakan yang lumrah terjadi sehingga yang terjadi adalah segala cara dilakukan untuk menghilangkan jejak. Seperti inilah yang terjadi yang mendorong KPK melakukan OTT. Korupsi sudah merasuk pada segala lini, kasus korupsi E KTP misalnya, berbagai upaya dilakukan untuk menghindar jerat hukum yang membawa penasehat hukum dan dokter ikut menjadi tersangka KPK.
Kalau budaya lebih mementingkan diri sendiri ini terus berkembang, bukan tidak mungkin menjual kemiskinan hanya untuk menarik simpati. Sebaliknya untuk bertahan kekuasaan bercerita tentang kenerhasilan dan menghilangnya kemiskinan menjadi cerita penting untuk diperdengarkan.Â
Namun fenomena penyalah gunaan jabatan bukan hanya terjadi pada pejabat politis maupun struktural, profesional yang memiliki kewenangan tak luput dari penyalah gunaan kewenangan , penasehat hukum, dokter dan notaris adalah mereka yang juga rentan pada tindakan melawan hukum.