"Tidak ada Paud jadi kami mulai semuanya dari awal di kelas satu. Mulai dari kenal huruf dan angka. Sulit memang namun itulah tantangan buat kami para guru di sini. Saya merasakan sendiri karena memang saya sebagai guru wali kelas satu. Bahkan di kelas satu ini anak-anak lebih banyak pakai bahasa daerah sehingga kita sebagai guru juga harus bisa fasih bahasa daerah supaya pelajaran yang kita berikan bisa dipahami siswa. Tapi kami bersyukur dengan kerja keras para guru dan kemauan siswa sendiri maka anak-anak di sini sudah bisa membaca paling tinggi di kelas 3,"tegas Christina Tamo Ama.
Perkembangan anak di sekolah ini memang bisa dibilang terlambat. Tetapi itu harus dipahami dengan rentetan realitas yang terjadi pada anak-anak di sekolah tersebut.
Yang pasti reallitas pelik kehidupan seputar anak-anak dengan jembatan bambu sebagai saksinya telah membuka mata kita semua pihak bahwa tidak butuh gedung wah, dengan jalan yang mulus untuk memperoleh ilmu tetapi juga mereka yang luput dari perhatian.
"Saya pikir sekolah ini adalah salah satu dari sekian sekolah di perbatasan sbd yang memrepresentasikan wajah pendidikan kita saat ini. Bahwa pemerintah daerah sudah saatnya memberikan perhatian kepada pendidikan di daerah ini. Pendidikan harus dilihat sebagai investasi masa depan dalam membangun daerah ini menjadi lebih baik,"pinta Soleman Mawo, salah satu anggota komunitas relawan Buku Bagi NTT Regio Sumba Barat Daya.