Laut bukan hanya sebagai perhiasan Indonesia, ia memiliki potensi sumber daya yang sangat melimpah. Luas perairannya mencapai 5,8 kilometer dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, negeri kita ini memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa di sektor kelautan (Sultan et. al., 2024). Potensi kekayaan alam laut Indonesia dapat menjadi sumber kekuatan pangan sektor laut bagi masyarakatnya karena luas lautan Indonesia lebih luas daripada luas daratannya. Kesadaran potensi kekayaan sumber daya laut Indonesia harus dimiliki oleh setiap lapisan masyarakat agar kekayaan tersebut dapat dikelola untuk kemakmuran bangsa dalam jangka panjang. Di sinilah konsep blue economy (ekonomi biru) mengambil peran strategis yang merupakan konsep pengembangan yang berwawasan kelautan, bukan hanya melakukan eksploitasi terhadap sumber daya tetapi juga pemeliharaan dan perlindungan ekosistem (Luturmas, et al., 2024).
      Salah satu wujud nyata dari ekonomi biru adalah pengembangan marine aquaculture, khususnya melalui teknologi keramba jaring apung. Keramba jaring apung di laut lepas memungkinkan budidaya ikan laut dalam sistem yang berkelanjutan. Budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung dimulai sejak abad ke-20. Jepang menjadi pelopor dalam penggunaan teknologi ini sejak 1954 yang kemudian berkembang dan menyebar ke Malaysia pada tahun 1973. Di Indonesia sendiri teknologi keramba jaring apung mulai digunakan pada tahun 1976, tepatnya di daerah Kepulauan Riau. Budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung merupakan alternatif sistem budidaya ikan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, mengingat wilayahnya yang terdiri dari 70% adalah perairan.
Keramba jaring apung merupakan salah satu teknik akuakultur yang cukup produktif dan intensif dengan konstruksi yang tersusun dari keramba-keramba jaring yang dipasang pada rakit terapung di perairan pantai (Suntoyo, 1994). Sistem ini terdiri dari beberapa komponen, antara lain rangka, kantong jaring, pelampung, jalan inspeksi, kayu gelondong dan bambu. Seluruh elemen tersebut berfungsi sebagai tempat penopang kantong jaring dan dasar pijakan untuk jalur inspeksi dan rumah jaga (Atmojo S., 2018). Kantong jaring biasanya terbuat dari bahan polyethylene dan polypropylene dengan bermacam ukuran mata jaring dan benang yang berfungsi sebagai wadah untuk pemeliharaan dan penanganan ikan (Mudlofar et al., 2013)
Keunggulan keramba jaring apung terletak pada penggunaan teknologi pada keramba ini relatif tidak mahal dan sederhana, tidak memerlukan lahan daratan untuk dijadikan kolam baru karena langsung memanfaatkan perairan laut, serta pengelolaan yang mudah dilakukan sehingga keramba jaring apung mampu meningkatkan hasil budidaya ikan di satu tempat tanpa mengganggu pertumbuhannya. Pengambilan hasil panen ikan dari keramba jaring apung dapat dilakukan secara keseluruhan maupun sebagian, tergantung pada jumlah permintaan pasar. Kegiatan panen biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari suhu yang terlalu panas sehingga ikan tidak mengalami stres.
Berbeda dengan keramba jaring apung offshore atau biasa disebut keramba jaring lepas pantai, keramba tersebut hanya memiliki perbedaan pada lokasinya yang berada di laut lepas dengan jarak dari pantai minimal 2 kilometer dan kedalaman jaring mencapai 15 meter. Keramba jaring apung offshore masuk kedalam kategori offshore aquaculture. Secara umum offshore aquaculture dapat diartikan sebagai metode yang berada di laut lepas dengan paparan angin dan arus yang signifikan, sehingga membutuhkan peralatan dan kapal bantuan untuk mengoperasikan akuakultur tersebut (Atmojo S., 2018). Sistem keramba jaring apung offshore merupakan bagian pengembangan marine aquaculture modern yang dirancang untuk memanfaatkan laut dalam dengan kondisi arus dan gelombang yang besar, serta kedalaman yang lebih tinggi.
Bentuk dan material keramba jaring apung offshore memiliki beberapa perbedaan yang harus dipertimbangkan. Beberapa kriteria tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kriteria berhubungan dengan ikan, kriteria berhubungan dengan keramba, dan peraturan dan logistik. Untuk kriteria lingkungan organisme sebagai contoh ikan budidaya, lokasi keramba harus memiliki air yang bagus serta mempertimbangkan oksigen terlarut, polutan, suhu perairan, salinitas, kadar keasaman (pH), penyakit, dan kekeruhan. Selain itu kriteria lingkungan untuk struktur keramba jaring apung juga harus diperhitungkan untuk mempertimbangkan pembuatan keramba dan kapal pengangkut antara lain, kedalaman, kecepatan dan arah arus, angin, ketinggian gelombang dan periode gelombang, bencana badai dan angin topan, dan kondisi dasar laut. Kriteria tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah logistik, semakin jauh jarah antar lokasi keramba dengan fasilitas yang dibutuhkan dapat menyebabkan meningkatnya waktu perpindahan sehingga sedikitnya waktu kerja di lokasi keramba, meningkatnya biaya bahan bakar, dan meningkatnya risiko dalam transportasi bibit.
Salah satu inovasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember dalam pengembangan keramba jaring apung offshore adalah Ocean Farm ITS (OFITS) di perairan Sendang Biru, Kabupaten Malang. Lokasi tambak yang akan dirancang berada di sekitar wilayah selatan Pulau Jawa yang biasanya sebagai habitat alami ikan tuna (Athoillah, M., 2018). Keramba jaring apung offshore yang dikembangkan ini dirancang untuk beroperasi di lepas pantai dengan arus, gelombang, dan kedalaman yang tinggi. Inovasi ini menjadi bentuk transformasi budidaya laut menuju sistem berkelanjutan dan efisien yang mampu menjawab tantangan keterbatasan lahan di daratan dan pesisir. Selain itu, keberadaannya lebih produktif dan ramah lingkungan sekaligus mendukung pengembangan ekonomi biru Indonesia.
Lalu bagaimana dampak bagi nelayan dan petani tambak ketika adanya keramba jaring apung? Perlu diingat keramba jaring apung adalah wadah pemeliharaan ikan yang terbuat dari jaring yang dibentuk lingkaran atau segi empat yang diapungkan dalam air menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu, atau besi, serta sistem penjangkaran (Atmojo, S., 2018). Keramba jaring apung dapat menjadi cara untuk membantu nelayan kecil beralih dari yang awalnya hanya menangkap ikan menjadi menjalankan usaha budidaya ikan sendiri. Hal ini dikarenakan sistem keramba jaring apung tidak hanya menyediakan alternatif mata pencaharian yang stabil bagi nelayan tetapi juga membuka peluang peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. Selain itu, keterlibatan nelayan dan petani tambak dalam pengelolaan keramba jaring apung memungkinkan mereka meningkatkan keterampilan seperti pemantauan kualitas air yang baik, pemberian pakan, dan hasil panen dan pemasaran.
Meskipun keramba jaring apung offshore menawarkan potensi besar dalam mendukung blue economy Indonesia penerapannya di masa depan tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah semakin menurunnya daya dukung lingkungan keramba jaring apung yang dikembangkan di perairan pantai dan pesisir atau sering disebut nearshore (Imran, et al., 2018). Selain itu ombak dan cuaca laut yang ganas, dimana dalam musim-musim tertentu ombak laut lepas dapat mencapai ketinggian 6 meter. Solusinya diperlukan keramba jaring apung yang kuat dan dirancang khusus agar mampu beroperasi dalam kondisi laut yang berat. Tantangan selanjutnya yaitu aspek keamanan keramba jaring apung offshore yang letaknya jauh dari pantai dapat menyulitkan pengawasan dan perlindungan. Serta tantangan teknologi dan inovasi, keramba jaring apung offshore memerlukan inovasi yang lebih ramah lingkungan dan efisien melalui pendekatan IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) yang berfokus pada integrasi spesies dengan berbagai tingkat trofik dan hubungan mutualistik (Andriani et al., 2024). Pendekatan IMTA dianggap sebagai salah satu kegiatan budidaya yang menguntungkan dalam sistem budidaya keramba jaring apung. IMTA merupakan konsep yang menggabungkan beberapa spesies organisme dalam satu sistem budidaya, dimana masing-masing spesies memanfaatkan nutrien yang dihasilkan oleh spesies lainnya. Sehingga hal ini menghasilkan hubungan simbiotik yang dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan (Andriani et al., 2024).
Selain dampak bagi nelayan dan petani tambak, ada hal penting yang perlu kita pertimbangkan yaitu dampak terhadap lingkungan laut jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah menumpuknya sisa pakan dan kotoran ikan di dasar laut, karena tidak semua hewan laut memakan jenis pakan yang sama sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas air serta mengganggu ekosistem laut sekitar. Disisi lain juga dapat mengganggu jalur migrasi ikan lain, karena struktur keramba jaring apung lepas pantai yang besar dapat menghalangi jalan ikan-ikan lain yang biasa bermigrasi untuk mencari makan atau berkembang biak. Selain itu, keberadaan keramba jaring apung juga bisa menarik ikan atau hewan laut tertentu untuk tinggal di sekitar struktur. Dikarenakan struktur keramba memberikan tempat perlindungan dari arus laut serta menjadi sumber makanan tambahan bagi ikan-ikan liar atau hewan laut lainnya.