Mohon tunggu...
kayla shafa maulida
kayla shafa maulida Mohon Tunggu... mahasiswa

saya mahasiswa yang tertarik dengan isu sains dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

COVID-19 Usai, Limbah Medis Mengintai : Upaya Regulasi Pencemaran Lingkungan

30 Juni 2025   12:52 Diperbarui: 30 Juni 2025   12:52 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada tahun 2020, wabah COVID-19 menjadi tantangan besar dalam sejarah peradaban manusia, terutama dalam dunia kesehatan. Pemakaian alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan, serta alat-alat medis seperti jarum suntik dan alat tes (PCR, Rapid Test Antigen, dan lain sebagainya) meningkat drastis dalam jangka waktu yang cukup panjang. Menurut Kulkarni & Anantharama, Ibukota Jakarta dengan jumlah populasi 10,60 juta jiwa menghasilkan limbah medis sebanyak 212 ton per hari selama pandemi COVID-19. Kemudian menurut laporan Antara News pada tahun 2021, 2.867 rumah sakit Indonesia telah menghasilkan rata-rata 383 ton setiap harinya akibat dari perawatan pasien-pasien COVID-19. Sayangnya, dari ribuan rumah sakit tersebut tercatat hanya 120 rumah sakit yang memiliki izin pengelolaan limbah medis, dengan kapasitas harian sebesar 74,5 ton per hari.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan limbah yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah sakit, panti jompo dan berbagai pelayanan kesehatan lainnya sebagai limbah medis. Limbah medis yang dihasilkan selama dan setelah pandemi COVID-19 mengandung berbagai senyawa kimia berbahaya yang berpotensi mencemari lingkungan. Menurut Lampiran I PP No. 101 Tahun 2014, limbah medis rumah sakit dapat digolongkan sebagai limbah B3 karena bersifat menular. Limbah B3 merupakan limbah yang membahayakan lingkungan serta makhluk hidup apabila dibuang langsung tanpa diolah. Limbah B3 tidak mempunyai karakteristik seperti sifat limbah pada umumnya karena mempunyai sifat tidak stabil, reaktif, eksplosif, mudah terbakar serta beracun.

Salah satu senyawa yang paling berbahaya dari limbah medis adalah dioksin dan furan, yang terbentuk dari pembakaran limbah medis yang mengandung senyawa klorin. Selain itu, logam berat seperti kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr), dan nikel (Ni) yang berasal dari alat medis lama seperti termometer dan tensimeter memiliki sifat neurotoksik dan sulit untuk terurai secara alami. Di sisi lain, mikroplastik yang berasal dari degradasi masker, sarung tangan, dan alat pelindung diri (APD) membawa risiko kimia tambahan melalui senyawa aditif seperti phthalate, bisphenol A (BPA), dan pigmen logam berat. Partikel-partikel ini dapat masuk ke rantai makanan, merusak ekosistem perairan dan tanah, serta mengganggu kesehatan manusia. Sisa-sisa antibiotik seperti azitromisin yang dibuang tanpa pengolahan memadai berpotensi menjadi limbah farmasetik. Residu ini dapat bertahan lama di lingkungan dan mendorong terbentuknya resistensi antimikroba (AMR) yang mengancam kesehatan global.

Kini manusia dapat mengatasi wabah COVID-19 dan telah hidup seperti sediakala. Namun, permasalahan limbah yang ditinggalkan menimbulkan tantangan baru dalam sektor kesehatan secara global, terutama dalam hal pengelolaan limbah medis yang dihasilkan. Banyaknya limbah medis yang tidak terkelola dengan baik menjadikannya berakhir pada tempat pembuangan sampah terbuka atau terbuang ke ekosistem air dan menyebabkan pencemaran lingkungan yang cukup serius. Kondisi ini memperburuk kerusakan ekosistem laut serta dapat menggangu rantai makanan, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan manusia.

Lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia menunjukkan urgensi pembaharuan regulasi yang lebih tegas antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pengelolaan limbah medis yang tidak efektif ini dapat menyebabkan pencemaran yang berkelanjutan pada lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 6 tahun 2015 halaman 56 (Permen LHK no.6/2015), pengelolaan limbah B3 rumah sakit dilakukan dengan tahap yang berurutan, yaitu pemilahan, pewadahan, pengumpulan, dan pengangkutan, pemusnahan, pembuangan akhir dan daur ulang. Penumpukan obat atau bahan kimia kadaluarsa dapat dicegah dengan melakukan suatu pengelolaan yang cermat sejak saat limbah tersebut akan dibuang dengan cara menyediakan tempat khusus agar limbah medis berbahaya tidak terkontaminasi dengan jenis limbah yang lain. Limbah medis tajam beserta wadahnya harus diautoklaf sebelum dibuang ke tempat limbah medis non-infeksius (karena dapat melukai). Wadah yang digunakan diberi kode warna untuk setiap jenis limbah. Dengan demikian, pengumpulan dari setiap tempat terkelola dengan baik dan mencegah adanya kontaminasi limbah medis terhadap limbah jenis lain.

Prosedur standar penyimpanan dan penyeterilan menjadi perhatian penting untuk mencegah terjadinya penularan penyakit terhadap tenaga medis maupun tenaga non-medis, yang ikut andil dalam menangani limbah medis berbahaya ini. Permen LHK no 56/2015 menyebutkan limbah infeksius, benda tajam, dan/atau patologis tidak boleh disimpan lebih dari 2 (dua) hari untuk menghindari pertumbuhan bakteri, putrekasi, dan bau. Jika lebih dari dua hari, maka limbah harus disimpan pada temperatur 0oC atau lebih rendah. Selain itu, dapat dilakukan juga desinfeksi kimiawi pada di ruangan dengan cairan desinfektan berupa alkohol atau cairan hipoklorit 5 %. Setelah penyimpanan, biasanya limbah ini sudah tidak bersifat infeksius sehingga dapat diperlakukan sebagai limbah berbahaya tajam tidak infeksius. Proses pengangkutan limbah harus memakai kendaraan khusus pengangkut limbah B3 yang dilengkapi dengan simbol B3. Pengangkut limbah pun harus memakai APD berupa sarung tangan dan masker.

Insinerasi adalah salah satu teknologi pengolahan limbah medis dengan menggunakan panas yang dapat mengurangi berat serta volume limbah dengan signifikan dalam waktu yang relatif pendek. Faktor yang terpenting pada insinerasi adalah suhu dan waktu pembakaran. Proses insinerasi dikatakan efektif ideal jika suhu pembakaran 1200C, dan gas buangnya dapat dikontrol sehingga meminimalisir dampaknya terhadap lingkungan. Penimbunan dilakukan hanya untuk abu hasil pembakaran insinerator pada lahan khusus yang tertutup serta aksesnya sangat diawasi oleh pihak penyedia fasilitas pelayanan kesehatan sedangkan penguburan dilakukan pada benda patologis seperti bagian tubuh manusia dan benda tajam.

Berakhirnya wabah COVID-19 tidak menghilangkan kewajiban kita dalam meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan. Pencemaran limbah medis yang tersisa berpotensi menjadi ancaman baru yang lebih besar di masa yang akan mendatang jika tidak dicegah dan diantisipasi. Sebagai masyarakat yang berkelanjutan, peran kita sangat penting dalam membantu pemerintah dalam menegakkan regulasi pencemaran lingkungan yang lebih tegak dan efektif serta efisien.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun