Mohon tunggu...
Katerine Rumiang
Katerine Rumiang Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi program studi pasca sarjana fpa UB - USA

Mahasiswi program studi pasca sarjana fakultas publik administrasi UB - USA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Bukan Pelebur Rasisme

27 Mei 2019   12:48 Diperbarui: 28 Mei 2019   12:52 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Love wins merupakan ungkapan yang empat tahun belakangan ini sering kita dengar, semenjak pernikahan sesama jenis legal di Amerika. Jika kita menelaah arti dari ungkapan tersebut, maka makna yang akan kita dapatkan adalah cinta bisa mengalahkan segalanya. Cinta tidak memandang latar belakang pendidikan, keluarga, status sosial, ras, agama, bahkan jenis kelamin. Hal ini sebenarnya merupakan pandangan yang sangat ideal dan indah.

Memiliki idealisme "love wins" di Indonesia adalah hal yang bisa dikatakan cukup menantang. Di tanah air yang menganut budaya timur dan merupakan negara Islam paling besar di Dunia, tentu saja "love wins" ini tidak bisa diterima, bahkan mungkin haram. Jika pernikahan sesama jenis terlalu ekstrem untuk ditelisik, bagaimana dengan perbedaan latar belakang keluarga dan ras? 

Berdasarkan data dari sensus BPS pada tahun 2010, terdapat lebih dari 300 kelompok ras etnis suku bangsa di Indonesia; atau sekitar 1300 suku bangsa yang tersebar di seluruh provinsi. Begitu banyak ragam budaya yang kita miliki tetapi setiap suku memiliki kecenderungan untuk beranggapan bahwa mereka adalah yang terbaik. Tidak ada yang salah dengen kecintaan pada akar budaya yang kita miliki, tapi harus disadari juga bahwa ini adalah bibit rasisme.

Hal ini berdampak besar bagi para penganut "love wins". Rasisme yang terbentuk secara implisit dalam keluarga akan mempengaruhi persetujuan yang didapat. Keluarga akan lebih menyukai jika anak/saudara kandung mereka menikah dengan seseorang yang berasal dari etnis yang sama. "Orang sebrang susah diajak berumah tangga" adalah hal yang sering dilontarkan dan merupakan salah satu basis dari preferensi ini. Yang jika ditarik, akarnya adalah rasisme.

Saya berasal dari keluarga antar suku. Ayah saya adalah si lae dari Tapanuli Utara dan ibu saya merupakan sang teteh dari Jawa Barat. Dua budaya yang bertolak belakang tetapi mereka bersatu dalam pernikahan yang sudah lebih dari 25 tahun. Sebuah pencapaian, tapi yang menjadi pertanyaan apakah ini adalah akhir bahagia dari "love wins"?

Tumbuh dari keluarga antar suku, saya sampai pada kesimpulan bahwa pernikahan pada umumnya, bukanlah pelebur rasisme. Pernikahan itu sendiri bisa terjadi, tetapi penerimaan keluarga tidak akan sebaik jika pernikahan tersebut bukan antar suku. Dampak lainnya juga akan dirasakan oleh anak-anak dari hasil pernikahan antar suku ini. Mereka akan mendapatkan doktrin dari masing-masing suku bahwa budaya mereka lah yang paling luhur. Bahwa hendaknya kami menikahi sesama suku agar kami "tidak hilang" dari keluarga dan bisa meneruskan nama belakang salah satu suku tersebut. Belum cukup dengan hal tersebut, terkadang saya mendapatkan ayah saya seperti diasingkan. Jika ada pertemuan keluarga, ayah saya sering tidak dimasukan dalam daftar. Tidak menyenangkan, itu sudah pasti.

Hal yang paling menyedihkan dari semua hal buruk yang bisa terjadi adalah fakta bahwa ini datang dari keluarga inti. Dari orang tua kepada anak dan cucu, dari saudara kandung kepada saudara kandungnya sendiri yang merujuk pada keponakan-keponakannya. Keluarga besar adalah salah satu sumber kebahagiaan manusia, dan rasisme tidak sewajarnya berada di antara hubungan kekerabatan tersebut.

Saya percaya bahwa hal ini tidak dialami oleh diri saya sediri. Banyak teman yang berlatar belakang dari keluarga antar ras/suku membagi  cerita mereka tentang pengalaman yang sama. Konflik dari pernikahan antar ras/suku memang sulit diatasi karena dasar dari kejadian ini adalah dua hal fundamental dalam kehidupan manusia, yaitu cinta dan latar belakang budaya. 

Keanekaragaman memang bukan hal yang sederhana. Tidak semua orang paham cara menghadapinya, walaupun sekarang kita sudah dalam era modernisasi.  Hal signifikan yang harus kita miliki adalah rasa saling menghormati. Terlahir sebagai bangsa Indonesia, kita harus menerima bahwa kekayaan tanah air kita ini tidak berasal tanya dari satu pulau atau suku. Setiap etnik memiliki budaya yang sama luhurnya yang menjadikan kita satu; tanah air Indonesia. Ini berlaku tidak hanya untuk masalah ras tapi juga untuk perbedaan agama atau pandangan politik. 

Yang kedua adalah memiliki pemahaman bahwa cinta harus diberikan tanpa syarat. Cinta adalah hal paling alami yang mendasari interaksi antar manusia. Latar belakang keluarga, pendidikan, dan status sosial tidak seharusnya menjadi tolak ukur cinta yang akan kita berikan kepada orang lain. 

Dengan memiliki dua hal ini, saya yakin bahwa bukan hanya rasisme yang akan menipis, tetapi dunia akan menjadi tempat yang lebih baik untuk kita semua. Memiliki rasa saling menghormati dan cinta yang tulus kepada sesama (apalagi keluarga) akan menjadikan kita manusia yang luhur, terlepas dari lencana etnik yang melekat dalam diri kita. Because love is love, love wins.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun