Tidak Sadar Diri dan Keserakahan 22:30:12 | 28 Desember 2017
Di tempat kerja setiap akhir tahun ada penilaian kinerja dari perusahaan. Sebelum tanda tangan diminta untuk membaca penilaian tersebut. Saya melihat yang tertera cuma 83 koma sekian. Sebelum mencetak Manajer HRD tanya: Apa nilainya mau ditambah lagi?
Siapa takut nambah? Ya sudah saya minta tambah jadi 85. Karena sadar diri sebagai tukang komplain. Setelah dicetak, Â cepat-cepat saya tanda tangani. Begitu selesai otak saya langsung komplain _ tuh, kan benar dasar tukang komplain! Kenapa tidak digenapi nilai jadi 90? Menyesal juga kesempatan baik dilewatkan. Tetapi ada suara lain yang berteriak: Wew... #sadardiridong!
Iseng-iseng buka Facebook dan ketemu status tahun lalu. Sepertinya menarik juga jadi bahan tulisan. Karena agak berantakan, sedikit saya edit tanpa mengurangi makna dan maksudnya.
Setelah baca-baca lagi paling tidak ada dua pembelajaran yang bisa dipetik. Kalau mau dicari-cari masih ada sih. Tadinya mau bilang banyak tapi tak jadi. Takut ada yang komplain. Kalau memang banyak, coba sebutkan satu-persatu. Gawat, kan? Sadar diri kalau diri sendiri tukang komplain.
Ya, pertama adalah soal sadar diri. Apakah saya ingin menunjukkan kalau saya sadar diri dengan contoh kejadian di atas? Jangan tertipu, kawan. Kebetulan itu cuma satu-satunya kejadian saya sadar diri di antara ribuan kejadian.
Lebih banyak tidak sadar diri kalau diri ini adalah manusia. Makhluk yang paling mulia. Punya nurani. Punya akal budi. Tak heran kelakuan malah lebih sering berperilaku rendah mirip  hewan. Senggolan sedikit, ngamuk. Teriak-teriak caci maki. Mudah meluncur kata-kata binatang. Seruduk sana-sini. Susah diatur. Apa lagi?
Berperilaku sombong. Nah, Â sombong itu adalah sifat iblis. Selalu merasa diri sudah paling benar, paling baik, paling bersyukur. Kalau lagi berdebat merasa paling pintar. Buktinya paling sering dan hebat melihat dan menilai kesalahan orang lain. Apa ini bukan sombong namanya?
Ada lagi, Â merasa paling religius. Kalau ini sih kadang-kadang merasanya. Kalau lagi memberi merasa paling tulus. Sombong lagi, kan? Tetapi masih tidak sadar diri. Ini tidak sadar diri kuadrat namanya. Sudah berlaku tidak sadar diri masih tidak sadar diri. Untung masih bisa menulis jadi sedikit sadar.
Yang kedua adalah soal tidak ada puasnya alias serakah. Kalau urusan dunia memang tiada habisnya serakah. Harta benda selalu mau lebih dan lebih. Bila untuk urusan rohani malah perhitungan. Kenapa harus beramal lagi, beramal lagi tiada habisnya?
Soal keserakahan ini, ada orang bijak mengatakan, bahwa dunia ini bisa memenuhi semua kebutuhan manusia, tetapi tidak mampu memenuhi keserakahan satu manusia. Bisa bayangkan?