Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Paslon Tunggal yang Meningkat

1 November 2020   08:39 Diperbarui: 1 November 2020   08:45 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Kompas.com

Persyaratan ambang batas parlemen menyulitkan kandidat yang ingin maju leawat jalur parpol yaitu harus mencapai minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari jumlah perolehan suara sah saat pileg di daerah yang bersangkutan dan yang ingin maju secara independen/perseorang harus mengumpulkan KTP sejumlah 6,5%-10% dari total penduduk baik tingkat kabupaten, kota maupun provinsi. 

Pada akhirnya yang bisa memenuhi persyaratan itu hanya mereka yang memiliki dana besar.

Keempat, pragmatisme parpol. Banyaknya calon tunggal diberbagai daerah ini sudah diprediksi oleh sejumlah peneliti beberapa waktu lalu. 

Peneliti lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif M. Ihsan Maulana mengatakan,  fenomena calon tunggal meningkat disebabkan oleh parpol pragmatis ingin menang. Parpol hanya ingin selalu menang dan tak mau kalah. Mengusung calon tunggal yang sudah pasti menang merupakan wujud pragmatisnya. 

Padahal, parpol memiliki cukup waktu untuk melakukan seleksi sebelum pendataran ditutup. Namun, parpol menempuh jalan pintas dengan cara mengusung paslon yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi sebagai jagoannya saat pilkada.

Kelima, mahar politik. Mahalnya mahar politik yang diminta oleh pengurus parpol kepada para kandidat yang ingin maju saat pilkada menyebabkan lahirnya paslon tunggal. 

Hal ini mengakibatkan diborongnya parpol-parpol hanya oleh mereka yang berduit.. Sehingga calon pemimpin yang "kere" tapi memiliki kualitas, kapabilitas dan kredibilitas tidak bisa maju sebagai kandidat. 

Singkat kata, money politics (politik uang) tetap langgeng dan menjadi permasalahan demokrasi yang tak kunjung usai. Contoh kasus mahalnya mahar politik pernah terjadi menjelang pilgub Jawa Timur 2018 lalu, mantan Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti blak-blakan mengeluh di khalayak publik karena dimintai mahar politik sejumlah Rp 40 milyar oleh partai Gerindra agar bisa diusung di pilgub Jatim dan banyak contoh kasus lainnya.

Kehadiran Paslon tunggal ini acapkali dimotori politik oligarki. Penguasaan oleh segelintir elit atau oligarki merupakan problematika demokrasi. 

Sejak dulu, oligarki tidak pernah minggat dari perpolitikan Indonesia. Ia selalu muncul dalam setiap momen kontestasi pemilihan calon pemimpin, termasuk pilkada serentak 2020. 

Dalam praktik-praktiknya, oligarki dapat menghilangkan kesetaraan, terutama hak untuk dipilih. Jadi, oligarki sangat bertentangan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun