Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengawal Pilkada dari Racun Demokrasi Politik Uang

27 Oktober 2020   15:18 Diperbarui: 27 Oktober 2020   15:48 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Bawaslu Sulsel

Politik uang akan semakin digdaya. Kedigdayaan tersebut disebabkan oleh keadaan ekonomi global yang carut marut, ekonomi beberapa negara mengalami resesi. Imbasnya, kondisi perekinomian Indonesia tiarap dan beberapa ekonom mempredisiki pertumbuhan ekonomi nasional akan terjun bebas alias resesi.

Pilkada kali ini diselenggarakan ditengah kondisi perut sedang lapar. Apapun bisa dimakan termasuk uang haram politik uang yang penting kenyang. "Tak ada ranting rotan pun jadi" sama dengan "Tak ada uang halal, uang haram pun jadi" ungkapan itu yang pas menggambarkan kondisi pilkada serentak 2020.

Berbicara politik uang, membawa kita pada rahasia umum, ia berlangsung sekian lama, yang semakin banyak orang mengiakan. 

Alih-alih banyak diantara kita mencaci-maki, mengecam dan mengutuk praktik politik uang untuk menutupi realitas, kenyataannya malah menerima uang haram tersebut, bahkan turut mempraktikkannya. 

Hampir pasti kita menemukan politik membutuhkan uang. Pada titik tersebut para kontestan dan timnya berupaya memperoleh dana besar untuk mengikuti kontestasi lima tahunan.

Dana besar itu ada pada orang-orang yang memiliki uang yang begitu melimpah dan bersedia melimpahkan uangnya untuk para kontestan. 

Keberadaan penyedia dana besar itu diproklamirkan dengan nada sarkastik oleh Dr. Muhammad Hidayaturrahman sebagai "Investor Politik". Istilah tersebut terinspirasi dari peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Siti Zuhro yang menyebutnya sebagai "Investor Pilkada".

Tentu bahaya investor politik tidak dibiarkan begitu saja. Berbagai peringatan telah dilancarkan bahwa mereka adalah para pembajak demokrasi (hijack of democracy) yang dampak jangka panjangnya bagi demokrasi Indosnesia adalah kekalnya ruang gelap (the dark room), bahkan lebih parah lagi adalah mengakibatkan kegelapan yang lebih dalam (the deep darkness).

Para investor politik menjadi pemerintah bayangan (shadow state) bagi para kontestan yang menang dalam pilkada. Para kontestan tidak akan bebas dari bayang-bayang investornya. Kepala daerah baik bupati, walikota atau gubernur yang didanai oleh para investor politik akan dimintai kompensasi. 

Mereka tersandera hutang budi yang diciptakan oleh para investor politik. Sudah barang tentu kebijakannya tidak akan luput dari hasil pesanan, kompromi bahkan dikte dari para investor politik.

Kongkalikong antara kepala daerah investor politik pun terjadi. Pada investor politik mengharapkan kemudahan izin usaha (bisnis), terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, keamanan dalam bisnis dan meminta jabatan tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun