Politik dinasti sebenarnya bukan hal baru. Ia telah berakar secara tradisional. Sistem patrimonial pada masa kerjaan dengan mengedepankan regerasi politik berdasar ikatan genealogis, bukan menimbang prestasi (meritsystem) merupakan jejak historis yang sulit dihapus hingga kini.Â
Di alam demokrasi, sistem seperti itu disebut neo-patrimonial karena telah terjadi pegeseran makanisme.Â
Jika dulu ditunjuk langsung, kini menggunakan prosedur yang telah ditentukan.
Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan politik dinasti tetap tumbuh dan bertahan hingga saat ini.Â
Pertama, godaan kenikmatan kekuasaan. Orang yang memiliki hasrat politik tinggi akan selalu menikmati kekuasaan dalam jangka waktu yang lama. Mereka tidak rela jika kekuasaannya direbut orang lain.
Kedua, keinginan mempertahankan kekuasan. Bagi mereka yang telah memiliki kekuasan akan berpikir ulang untuk melepaskannya, mengingat modal yang dikeluarkan begitu besar. Sehingga, ketika kekuaannya telah mencapai batas sebagaimana diatur undang-udang, mereka akan menunjuk kerabat dan keluarganya maju menggantikan dirinya.
Menguatnya politik dinasti di dalam dunia politik Indonesia kontemporer diafirmasi oleh Marcus Mietzner (2009) melalui papernya Indonesia's 2009 Election: Populism, Dynasties adn the Consolidation of the Party Sytem.Â
Bagi Mietzner politik dinasti berimplikasi negatif pada demokrasi karena kontrol checks and balances terhadap pemerintahan menjadi lemah.
Dalam konteks demokrasi, politik dinasti adalah persoalan krusial yang harus segera diatasi.Â
Coba bayangkan jika politik dinasti telah menggurita di suatu daerah, di mana ayah atau ibu menjadi kepala daerah.Â
Sementara, anak, menantu, atau saudaranya menduduki posisi pimpinan DPRD. Ketika kondisi semacam ini terjadi, fungsi legislatif terkebiri karena terjadi konflik kepentingan (Biyanto: 2020).Â