Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Pakar tidak jelas

Manusia biasa yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini Sekedar Resah Tanpa Arah di Masa Pandemi

8 Agustus 2021   22:47 Diperbarui: 8 Agustus 2021   23:09 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selamat pagi korban ghosting, orang orang yang menerima banyak harapan namun tidak pernah mendapatkan kepastian


Akhir -- akhir ini mungkin sedang ramai keluh kesah tentang ppkm, mulai dari istilah yang berganti ganti, drama penyekatan, swab, kartu vaksin, pasangan yang tidak bisa liburan, siram siraman air dipinggir jalan, main mati matian lampu, mengenang masa lalu dengan bermain pocong -- pocongan, semua hal ini menjadi hiburan dikala negara sedang membicarakan masalah pandemi covid -19. 

Seharusnya suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah itu serius dan memberi solusi atas permasalahan yang sedang dan akan terjadi tapi faktanya realita yang kita lihat hari ini tidak, seolah olah kita ingin pandemi ini panjang tidak ingin ada solusi, agar banyak anggaran yang semakin di gelontorkan, maaf, picik sekali bukan praduga yang saya tuliskan?

Beberapa hari lalu kita pasti tahu perihal pedagang yang disirami oleh orang -- orang yang rindu masa kecilnya, lalu bagaimana tentang (tanpa mengurangi rasa hormat) mereka -- mereka yang mendapatkan penghasilan hari ini untuk makan hari ini, mereka mereka yang mendapatkan penghasilan hari ini untuk makan hari esok, semua dilibas oleh mereka yang tak berfikir besok makan apa, tidak ada waktu transaksi untuk memenuhi kebutahan hidup. Sedikit membingungkan memang, disatu sisi kita melakukan pekerjaan, disatu sisi kita menghilangkan pekerjaan, tak apa yang perlu dicatat ialah kemanusiaan.

Pertanyaanya kemana para agen of change, agen of intelektual, agen of social control? Adakah demonstrasi tentang ini? Sebagaimana demonstrasi isu KPK dan Omnibuslaw, bukankah peristiwa komedi diatas jauh lebih nyata bukan sekedar isu semata dan khayalan ke khawatiran kita yang belum tampak secara nyata akan memberi dampak pada masyarakat Indonesia. 

Oh ya mungkin mereka sedang sibuk dengan urusan pribadi yang tak bisa diganggu gugat, oh ya mungkin mereka belum mendapatkan arahan, oh ya mungkin mereka perlu diberi anggaran dan oh ya oh ya yang lain, yang tidak boleh dibiarkan terus menerus terjadi.

Selain itu dikala ekonomi yang kian merosot tentu para orang tua yang menyekolahkan anaknya juga kebingungan untuk membiayai Pendidikan yang sedang ditempuh oleh sang anak, lucunya lagi masa masa ini tidak menjadikan bebarapa pemimpin Lembaga Pendidikan berfikir logis, mereka mengedepankan apa yang direncanakan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial, memang tidak semuanya tapi ada beberapa, salah satu contohnya ialah kenaikan pembayaran Uang Kuliah Tunggal setiap semester. 

Hal ini sah -- sah saja untuk dilakukan oleh Lembaga karena memang mereka yang membuat kebijakan, mau lebih diatas angka lima ratus ribupun sah sah saja, tapi pertanyannya bijak kah kebijakan itu? Memang semua orang tua memiliki kondisi ekonomi yang stabil hari ini? atau kemudian ada yang menjawab hanya lima ratus ribu, ya hanya, hanya bagi kalian tapi tidak untuk mereka, lebih lebih di saat kondisi seperti ini.

Teruntuk kepada aparatur pemerintah dan pimpinan Lembaga Pendidikan, saya hanya bisa berbesit bahwa dalam merumuskan dan mengimplementasikan suatu kebijakan hendaknya mengkolaborasikan antara pikiran dan hati, sebab kita tidak bisa merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan hanya dengan pikiran karena nantinya akan banyak elemen yang dikorbankan, begitupun sebaliknya kita tidak bisa hanya dengan hati, akibatnya akan menjadikan kemacetan dalam perkembangan dan kemajuan. Saya tidak berniat mengajari atau semacamnya namun sepertinya ada beberapa otak dan hati yang tengah terpenjara dan harus segera dibebaskan.

Dan teruntuk beberapa kawan mahasiswa, tidak ada yang melarang kita untuk menjadi apapun yang kita inginkan, bertindak bagaimanapun semau yang kita lakukan. Tapi sejak awal semua telinga pasti mendengar dan beberapa mulut ikut menyuarakan tentang sumpah mahasiswa, sedikit saya ingatkan Kembali "Kami mahasiswa Indonesia bersumpah bertanah air satu tanah air tanpa penindasan, Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan, 

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan" begitulah kira -- kira, sudah ingat bukan?. Sejauh apapun yang kita inginkan, setinggi apapun yang kita lakukan jangan pernah lupa tittle kita sebagai mahasiswa dan bagi saya tujuan adanya sumpah ini bukan untuk melahirkan narasi narasi kesengsaraan, penindasan, oligarki, reformasi korupsi, negara dikebiri, Tidak. Ini ada untuk membangun karakter pemuda masa depan harapan bangsa, tapi sepertinya ia akan tetap pada kata yang tak sampai pada rasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun