Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI
Kastrat BEM UI Mohon Tunggu... Freelancer - @bemui_official

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI terhadap suatu isu.

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Bukit Algoritma: Sebuah Mahakarya atau Proyek Taruhan?

29 Mei 2021   14:45 Diperbarui: 29 Mei 2021   16:23 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: CNN Indonesia)

Apabila Argentina dan Brasil diibaratkan sebagai kiblat persepakbolaan dunia, Amerika dapat digambarkan sebagai kondisi dan tujuan ideal akan pertumbuhan sebuah negara yang relatif muda pada zamannya. Berawal dari kumpulan 13 koloni yang memerdekakan diri dari belenggu Inggris pada tahun 1776, Amerika Serikat tumbuh secara eksponensial. Industrialisasi dan ekspansi yang cepat serta implementasi kapitalisme menempatkan Amerika sebagai negara adidaya, bahkan sempat mengalahkan negara-negara kolonialis sekelas Inggris dan Spanyol dalam sejarah panjangnya (Remini, 2009). Memasuki era globalisasi, Amerika menjadi episenter berbagai bidang seperti kebudayaan, demokrasi, militer, ekonomi, teknologi serta beribu inovasi yang berpengaruh di Dunia (Deil, 2017). Salah satu kiblat para tech geek atau pegiat teknologi dari berbagai negara adalah Silicon Valley, tempat dimana banyak perusahaan teknologi, baik kelas kakap maupun rintisan saling berkembang dan berkompetisi di kancah nasional maupun internasional.

Istilah Silicon Valley atau Lembah Silikon pertama kali digagas oleh Don Hoefler di artikel Electronic News pada tahun 1971.  Silicon Valley identik dengan lokasi perusahaan penghasil chip yang integral bagi industri komputer dan perangkat digital. Secara geografis, Silicon Valley mengacu kepada daerah urban dan suburban di bagian selatan Teluk San Fransisco yang merupakan pusat dari perkembangan teknologi dan markas dari kurang lebih 2000 perusahaan teknologi yang mencakup wilayah Lembah Santa Clara, terutama daerah Palo Alto, Menlo Park dan area sekitar Universitas Stanford dengan populasi mencapai 3 juta orang (Segal, 2020). 

Basis Perusahaan di Silicon Valley (Sumber: Mr.Phone)
Basis Perusahaan di Silicon Valley (Sumber: Mr.Phone)
Silicon Valley yang kita kenal sebagai pusat inovasi dan rumah dari ribuan perusahaan besar seperti Apple, Google, Tesla, Netflix, dan Facebook tidaklah muncul dalam waktu sekejap. Setelah depresi besar yang melanda dunia sekitar tahun 1920, Profesor Teknik Universitas Stanford, Frederick Terman, memutuskan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi murid-muridnya. Dia mendukung muridnya, William Hewlett dan Dave Packard, untuk merintis perusahaan sekarang kita kenal sebagai Hewlett-Packard (HP) (Amadeo, 2020). Awalnya HP memproduksi osiloskop, sebuah alat elektronika untuk memproyeksikan dan mempelajari sinyal listrik. Lalu, ketika Perang Dunia Kedua dimulai pada tahun 1939, HP beralih ke pembuatan radar, artileri, dan berbagai perlengkapan perang lainnya. Frederick Terman diangkat menjadi dekan Universitas Stanford pada tahun 1951 dan mencanangkan konsep Stanford Industrial Park sebagai bentuk kerjasama Kota Palo Alto dengan Universitas Stanford untuk memajukan perekonomian usaha kecil yang dimiliki oleh warga. Hal ini juga berujung pada pengembangan Palo Alto sebagai pusat riset teknologi baik komersial dan militer dengan perusahaan seperti Fairchild, Xerox, dan Lockheed. Sejak peristiwa ini, inovasi dalam bidang teknologi, didukung ventura kapital yang memberikan modal bagi startup mengalami kenaikan pesat. Perusahaan berbasis chipset seperti Intel, Nvidia, Apple, Atari dan lain-lain mulai bermunculan. Munculnya internet dan jaringan pada tahun 1980 hingga sekitar tahun 1995 membuka peluang usaha baru. Cikal bakal Cisco, Adobe, Google, Yahoo, PayPal dan Amazon dirintis pada periode ini (Segal, 2020).

Kisah kesuksesan Silicon Valley dalam bidang teknologi dan inovasi membuat berbagai negara seperti Inggris, Tiongkok, Israel hingga Albania terinspirasi untuk menciptakan Silicon Valley tandingan, salah satunya adalah Indonesia. Belakangan ini, publik digemparkan dengan wacana pembangunan “Bukit Algoritma” yang diinisiasi oleh PT Kiniku Bintang Raya dengan mitranya PT Amarta Karya (Persero) di daerah Cikidang dan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tanah seluas 888 Hektar yang ditentukan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tengah digadang-gadang menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Biaya sebesar Rp 18 Triliun dikucurkan murni dari investor-investor baik asing maupun domestik untuk mendanai pembangunan proyek yang ambisius ini dan diperkirakan memakan waktu 11 tahun (Pratama, 2021).

Proyek yang digarap oleh Budiman Sudjatmiko ini bertujuan untuk pengembangan riset teknologi 4.0 serta pengembangan sumber daya manusia (SDM). “Kawasan ini (Bukit Algoritma) akan menjadi salah satu pusat untuk pengembangan inovasi dan teknologi tahap lanjut, seperti misal kecerdasan buatan, robotik, drone (pesawat nirawak), hingga panel surya untuk energi yang bersih dan ramah lingkungan,” ujarnya (Pratama, 2021). Rencananya, kawasan itu akan dibangun science park, gedung penelitian yang akan disewakan untuk teknologi kuantum dan kecerdasan buatan, rekayasa nano untuk teknologi bangunan, penelitian otak dan rekayasa genetika, produksi obat-obatan, termasuk juga bangunan riset untuk komponen semikonduktor, pabrikasi otak komputer dan energy storage LG berbentuk baterai. Terkait riset, Budiman  telah menawarkan lahan seluas 25 km untuk perguruan tinggi yang bersedia mengembangan risetnya di Bukit Algoritma (CNN, 2021). Tidak hanya di bidang teknologi, Budiman juga menyatakan bahwa akan ada lembah penyediaan kesenian serta sentra kajian sosiologi dan filsafat (Yanwardhana, 2021). Selain itu, Budiman juga menjelaskan bahwa ada ratusan lulusan Indonesia dari berbagai universitas ternama di dunia yang hanya bekerja secara administratif, sehingga diperlukan wadah untuk berinovasi. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan berbagai fasilitas yang ditawarkan di Bukit Algoritma. 

Meskipun Budiman optimistis, tidak sedikit masyarakat yang kritis terhadap megaproyek ini. Banyaknya tokoh bahkan praktisi yang angkat bicara kerap mewarnai polemik di masyarakat seputar perencanaan dan pengembangan Bukit Algoritma. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sempat memberi komentar terkait wacana pembangunan tersebut. Ia menyatakan bahwa konsep Silicon Valley terdiri dari tiga faktor, yaitu universitas sebagai lembaga riset, industri yang menggunakan hasil riset, dan investor. Apabila salah satu faktor tidak ada, nama Silicon Valley hanya sekadar gimmick untuk branding (Prabowo, 2021). Kenyataannya, Bukit Algoritma tidak memiliki universitas yang dekat untuk dijadikan sebagai pusat riset dan masih memerlukan pembangunan infrastruktur (CNN, 2021). Hal ini tentunya berdampak ke aksesibilitas pengunjung dan tenaga kerja yang ingin mengunjungi lokasi dan berpengaruh terhadap riset serta pengembangan teknologi itu sendiri. 

Syahrial Loetan, pengamat Perencanaan Pembangunan Nasional dan mantan Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), juga berkomentar hal serupa. Menurutnya, Silicon Valley di Amerika Serikat memiliki 'venture capital', serta dua universitas yang terkenal yakni Stanford University dan University of California, Berkeley. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan dan universitas di Silicon Valley memiliki pembeli untuk dipasarkan, sehingga tidak terbengkalai begitu saja. "Tapi jangan lupa, kalau sudah keluar produknya, kemudian siapa yang beli? Pada waktu itu masuklah Departemen Pertahanan AS, yang membeli produk-produk itu untuk perang, alat-alat persenjataan,” ujarnya. Syahrial juga menanyakan bahwa apakah lahan seluas 800 hektar tersebut sudah aman dari segi tata ruangnya apa belum. Tata kelola ruang yang baik selain berfungsi untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan kapasitas kelembagaan dan organisasi penataan ruang di daerah tersebut juga memiliki peran dalam meminimalisir resiko akibat pembangunan (Wajib, 2016). Pertanyaan ini krusial mengingat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan Arif, mengaku pihaknya belum bertemu apalagi membicarakan dengan pihak manapun mengenai Proyek tersebut (Souisa, 2021). 

Kritik terhadap sisi ekonomi Bukit Algoritma juga dilontarkan oleh beberapa pihak. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, memaparkan bahwa Bukit Algoritma tidak bebas dari peluang mangkrak atau merugi berdasarkan ekosistem sains dan bisnis yang belum mendukung adanya Silicon Valley. Bhima mengatakan bahwa mangkraknya sebuah proyek pembangunan berakar dari lemahnya feasibility study dan tahap perencanaan. Sebagai contoh, Bhima mengambil Stadion Jakabaring serta berbagai fasilitas yang dipersiapkan untuk menyambut Asian Games 2018. "Akhirnya yang menanggung resikonya itu adalah sebagian besar Pemerintah Daerah atau BUMN lainnya. Stadion Jakabaring itu nunggak listrik sehingga listriknya kemudian diputus oleh PLN, dan proses dia nunggak itu berarti kan merugikan PLN,” ujarnya. Selain itu, Bhima juga berpendapat bahwa apabila proyek ini mangkrak dan merugi, nantinya akan mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara negatif. Hal ini disebabkan investor membeli surat utang dengan government guarantee. Sehingga ketika gagal, investor akan mendapat proteksi melalui jaminan dari APBN (Souisa, 2021). 

Beberapa pihak juga mengkritik aspek sosio-ekonomi wacana Bukit Algoritma. Direktur Eksekutif Ruang Jakarta Center of Urban Studies (RUJAK CUS), Elisa Sutanudjaja, melihat bahwa “Bukit Algoritma tak lebih dari rencana pengembangan kota baru ala-ala developer dengan mengambil tema tertentu, dan kebetulan saja tema yang dipilih adalah Silicon Valley." Lebih lanjut, Elisa menganalisis adanya satu pola dalam beberapa Program Strategis Nasional (PSN), termasuk Bukit Algoritma, yang memiliki tujuan untuk finalisasi spekulasi, dan mendapatkan akumulasi harga tanah setelah tanah tersebut memiliki kegunaan baru. Ia menambahkan, biasanya proyek ini menunggangi masalah yang dihadapi suatu daerah dan "dijadikan kuda troya untuk pengambilan lahan dari rakyat dan akhirnya mendapatkan keuntungan berlebih dari akumulasi lahan tersebut." Padahal, proyek-proyek tersebut belum tentu memecahkan masalah yang sesungguhnya ada, contohnya dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dan Tol Tanggul Laut Semarang Demak. "Masalah utamanya adalah penurunan muka tanah, tapi solusinya reklamasi dan bikin tanggul tol dan jalan tol. Sementara dalam penjelasan proyeknya sama sekali tidak ada solusi untuk penurunan muka tanahnya," ujarnya (Souisa, 2021). Dalam ilmu geologi, penurunan muka tanah atau subsidence adalah suatu kondisi dimana tanah mengalami ambles atau penurunan akibat faktor manusia atau geologis. Biasanya, peristiwa ini terjadi di wilayah pesisir, kawasan gambut, dan wilayah yang sedang mengalami pengeboran migas (Wetlands Indonesia, 2020). Fenomena ini dapat ditanggulangi dengan beberapa cara, antara lain memperkuat daya dukung tanah dengan cara melakukan rekayasa geoteknik seperti suntik semen, melakukan pembangunan pondasi pada struktur tanah yang tepat, melakukan penggantian tanah lunak dengan tanah yang relatif lebih kompak, membuat drainase vertikal, memanfaatkan penggunaan air tanah seperlunya tanpa melakukan eksploitasi berlebihan (Archenita, Dwita, dkk., 2015)

Meski membawa antusiasme dan gebrakan baru dalam konsep pembangunan wilayah yang berbasis teknologi, wacana pembangunan Bukit Algoritma telah menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Birokrat, akademisi, praktisi hingga pengamat telah memberikan berbagai pandangan dan kritik mereka atas pembangunan Bukit Algoritma, mulai dari tata ruang kota, nilai strategis, hingga nilai sosio-ekonomi. Kendati demikian, besar harapan penulis untuk mewujudkan pusat baru pengembangan dan penelitian teknologi di Indonesia. Penulis sangat mendukung upaya pembangunan Bukit Algoritma dan merasa bahwa kemajuan teknologi sangatlah esensial dalam membawa peradaban manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, diperlukan perencanaan dan pengelolaan yang matang agar Bukit Algoritma tidak menambah catatan panjang daftar proyek yang gagal seperti Hambalang. Mengingat hal tersebut, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk mengawal pembangunan Bukit Algoritma agar bisa memberikan beribu manfaat untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara berkelanjutan.

Oleh: Ralfy Ruben Rialdi | Mahasiswa Geofisika, FMIPA UI 2020 | Staf Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun