Di tengah gugusan kepulauan Nusantara, Pulau Flores berdetak seperti jantung yang menyimpan ingatan purba. Ia adalah jembatan biologis yang unik, terletak di Garis Wallace, garis imajiner yang memisahkan dunia fauna Asia dan Australasia. Di sinilah, di jantung Flores, tepatnya di Cekungan So'a, para ilmuwan menemukan jejak sebuah jalur evolusi manusia yang tak terduga: Homo floresiensis, atau lebih akrab disebut "hobbit Flores". Dengan tubuh mungil dan otak sekecil buah jeruk, mereka hidup berdampingan dengan alam, terisolasi, namun tangguh. Mereka adalah cermin masa lalu yang mengingatkan kita akan keberagaman evolusi, sebuah babak yang hampir terlupakan.
Cekungan So'a, sebuah lembah purba yang terbentuk dari letusan gunung api jutaan tahun lalu, merupakan kapsul waktu geologis dan biologis. Di situs Mata Menge, ditemukan fosil hominin berusia sekitar 700.000 tahun---leluhur dari hobbit Flores---yang merupakan manusia kerdil hasil evolusi dari Homo erectus melalui proses insular dwarfism. Fosil-fosil ini ditemukan dalam Formasi Ola Bula, sebuah lapisan batuan yang juga menyimpan artefak batu dan fosil fauna purba seperti stegodon kerdil dan komodo raksasa. Hal ini menunjukkan ekosistem unik yang memaksa adaptasi ekstrem, membuktikan bahwa evolusi tidak selalu linier. Sungai Ae Sesa, yang mengalir dari pegunungan di hulu Cekungan So'a ke dataran Mbay, menjadi metafora naratif. Ia adalah jalur waktu yang menghubungkan manusia purba di hulu dengan mitos leluhur di hilir, tempat di mana api dan pertanian bukan sekadar teknologi, melainkan warisan tubuh dan jiwa.
Di dataran Mbay, hilir Ae Sesa, legenda kuno menceritakan dua saudara yatim piatu, Dhawe dan Dhengi, yang membangun perahu besar untuk menghadapi air bah. Mereka mendapatkan inspirasi untuk menyalakan api pertama dari bambu yang bergesekan di Bukit Ratu Api, dan menanam kembali tanah dengan abu dapur serta arang. Tidak jauh ke arah timur dari tempat ini, di Ngalu Ndori, Tanah Lio, legenda Ine Mbu, Dewi Padi, mengisahkan tubuh perempuan sakral yang dikuburkan agar padi tumbuh dari pusarnya. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa di Flores, seperti juga di tempat lain di Nusantara, teknologi purba---api dan pertanian---selalu terikat dengan narasi budaya, spiritualitas, dan fiksi kolektif. Kini, kita melangkah ke tiga revolusi fundamental yang memisahkan kita dari "hobbit Flores" dan membawa kita menguasai dunia: api, yang memberi kita waktu dan perlindungan; pertanian, yang memberi kita struktur dan komunitas; dan kode, yang memberi kita jaringan dan kemungkinan tak terbatas.
Revolusi Api: Nyala Pertama dan Waktu Luang
Di tepian sungai Ae Sesa, mungkin manusia purba hobbit Flores, atau Homo floresiensis, menjalani hidup dalam "sekarang" yang abadi. Mereka terperangkap dalam siklus harian mencari makan dan bertahan hidup. Tanpa kapasitas kognitif yang kompleks, mereka tidak memiliki sarana untuk merenungkan masa lalu yang jauh atau merencanakan masa depan yang rumit. Kehidupan mereka adalah sebuah lingkaran yang berulang, di mana setiap hari adalah perjuangan tanpa henti. Bagi mereka, seperti yang ditunjukkan oleh Charles Darwin, eksistensi ini adalah bukti keberhasilan adaptasi. Ukuran tubuh kecil mereka adalah respons evolusioner terhadap lingkungan pulau yang terbatas, strategi sempurna untuk bertahan hidup tanpa harus memikirkan perubahan yang lebih besar. Mereka adalah saksi bisu dari garis waktu kosmik yang terus berjalan, sementara mereka sendiri terperangkap dalam "saat ini" yang abadi.
Namun, di tempat lain, bagi Homo sapiens di hulu peradaban, penemuan api adalah revolusi pertama yang mengubah segalanya. Api bukan sekadar sumber panas atau cahaya; api adalah teknologi yang membebaskan. Richard Wrangham, ahli primatologi Harvard, berargumen dalam bukunya Catching Fire bahwa memasak makanan dengan api adalah lompatan evolusioner terbesar. Api mengubah makanan mentah menjadi kalori yang mudah diserap, memberi kita lebih banyak energi dalam waktu lebih singkat, dan secara langsung berkontribusi pada pertumbuhan otak kita. Waktu luang yang berharga inilah yang menjadi kunci. Dalam kehangatan yang aman di sekitar api, manusia modern bisa berkumpul, berbagi cerita, dan menciptakan "fiksi kolektif"---narasi tentang masa lalu dan masa depan yang menjadi fondasi peradaban.
Perbedaan fundamental antara kita dan hobbit Flores menjadi semakin jelas. Stephen Hawking pernah menyatakan bahwa "tidak ada batas untuk kecerdasan manusia," sebuah pandangan yang sangat kontras dengan kehidupan Homo floresiensis yang tanpa kesadaran, karena mungkin tidak dibutuhkan, akan konsep-konsep abstrak. Transisi ke peradaban ini menghasilkan lompatan kognitif yang luar biasa, di mana manusia, seperti yang dijelaskan Ernst Gombrich, mengembangkan kemampuan untuk merepresentasikan dunia melalui simbol. Kemampuan ini, yang mungkin berakar dari api dan pertanian, adalah kunci penciptaan budaya dan spiritualitas. Di mata Steven Pinker, puncak evolusi ini adalah bahasa dan akal sehat, yang membebaskan kita dari "lingkaran" eksistensi dan memungkinkan kita membangun struktur sosial yang rumit.
Namun, di Flores, kisah tentang api memiliki makna yang jauh lebih dalam. Legenda Dhawe dan Dhengi di Bukit Ratu Api mengisahkan nyala yang lahir dari gesekan bambu dan bisikan alam: "Zoze-Zoze Api." Ini bukan api untuk perang, melainkan api untuk menjaga jiwa. Nyala ini adalah simbol kehidupan dan spiritualitas yang dijaga secara sakral di pusat kampung tradisional, menjadi bagian dari berbagai ritus. Sementara itu, mitos Ebu Gogo, makhluk kecil mirip hobbit yang konon dibakar hidup-hidup oleh penduduk, bisa jadi adalah cerminan memori kolektif akan kehadiran Homo floresiensis dan kekuatan api yang transformatif---sebagai alat pemusnah sekaligus penjaga kehidupan.
Dulu, api dinyalakan dengan bambu dan napas, sebuah ritual yang menghubungkan manusia dengan alam. Kini, nyala itu berpindah ke layar bercahaya di genggaman kita, digerakkan oleh listrik dan kode. Pertanyaannya tetap sama: untuk apa kita menyalakan api? Untuk konsumsi, atau untuk menjaga jiwa?
Revolusi Pertanian: Tanah, Tubuh, dan Komunitas