bisnis penerbangan merupakan bisnis paling glamour. Punya uang berlimpah, dikelilingi pilot tampan dan pramugari cantik. Ditambah bisa keliling dunia setiap saat. Tetapi dibalik citra mewahnya bisnis maskapai tergolong bisnis pahit. Bagaimana tidak, keuntungan dari bisnis ini hanya sekitar 3 persen dari pendapatan. Inilah salah satu catatan ketika ku buka kembali pada waktu mengukuti diskusi bersama Emirsyah Satar pada saat jabat dirut PT. Garuda Indonesia.
Di benak banyak orang,Tipisnya margin keuntungan dibanding modal dan biaya operasional, menjadikan maskapai selalu dibayangi malaikatul maut. Salah satu contoh adalah Adam Air dan Batavia Air yang salah perhitungan dan gagal mengais rejeki dari angkutan haji beberapa waktu lalu. Sebagaimana Garuda Indonesia saat dikomandani Emirsyah Satar sudah menanggung hutang 867 juta dollar AS. Garuda Indonesia saat itu hanya bersaing dengan empat armada penerbangan lain. Dengan sokongan dana pemerintah serta monopoli angkutan haji, Garuda memimpin terdepan. Namun rupanya didalam rapuh, Garuda sakit disana sini.
Dari informasi terakhir Irfan Setiaputra selaku Direktur Utama Garuda saat ini mengungkapkan bahwa hutang Garuda mencapai Rp 70 triliun ditambah Rp 1 triliun setiap bulannya. Disampaikannya hutang tersebut disebabkan pendapatan tidak dapat menutupi pengeluaran operasional. Dibagian lain salah satu Komisaris sudah mengingatkan juga posisi keuangan Garuda semakin kritis. Beberapa penyebab penilaian dari Komisaris diantaranya tidak adanya penghematan biaya operasional, tidak adanya langkah langkah penyelesaian dengan lessor dan tidak ada perubahan penerbangan yang merugi dan arus manajemen tidak dimengerti.
Nampaknya dari kepemimpinan Emirsyah Satar hingga Irfan Setiaputra seperti belum dilakukan perubahan. Mengutip istilah Pak Emirsyah manajemen kacau, tidak ada korelasi antara organisasi, proses bisnis dan divisi lainnya. Lebih gawat lagi 85% rute Garuda tidak menghasilkan keuntungan. Namun dipaksakan karena kepentingan politik yang tidak jelas.
Sekarang Kementrian Negara BUMN secara realistis dengan melihat kondisi seperti ini, membuka opsi memailitkan Garuda Indonesia. Menurut wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmojo negosiasi restrukturisasi hutang dengan seluruh lender, lessor pesawat, hingga pemegang sukuk global melibatkan tiga konsultan yang ditunjuk Kementrian BUMN. Bilamana negosiasi mentok dan tidak ada solusinya Garuda akan ditutup. Tidak mungkin Negara menyuntikan dana kembali karena hutangnya terlalu besar. Kemungkinan Pelita Air yang dipersiapkan menggantikan Garuda. Masalah utama Garuda diungkapkan adalah biaya leasing yang melebihi kewajaran dan jenis pesawat yang digunakan terlalu banyak. Beberapa tipe pesawat yang dipergunakan Garuda seperti ATR, CRJ, Airbus dan Boeing Next Generation 737-800.