Tak dipungkiri, perkembangan teknologi yang begitu pesat, tidak hanya memberikan efek positif, tapi juga efek negatif. Teknologi tidak hanya mampu menyebarkan informasi yang valid, tapi juga mampu menyebarkan informasi bohong, alias hoax. Namun, teknologi tak bisa sepenuhnya disalahkan, karena yang menyebarkan informasi bohong itu adalah manusia. Karena manusia itulah, berita bohong menyebar dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Lalu, kenapa sebagian diantara kita para manusia ini masih saja menyebarkan informasi bohong? Pertanyaan ini semestinya harus menjadi bahan introspeksi buat kita semua.
Ketika memasuki tahun politik, motif penyebaran hoax bermacam-macam. Ada yang ingin menaikkan elektabilitas tapi juga bisa untuk menurunkan elektabilitas paslon yang lain. Karena adanya kebutuhan semacam inilah, akhirnya memunculkan pribadi-pribadi pragmatis yang ingin mengambil keuntungan. Akibatnya, bisnis hoax menjadi hal yang menggiurkan di tahun politik. Dulu ada organisasi Saracen, lalu muncul lagi MCA, yang secara sengaja memproduksi hoax untuk kepentingan tertentu.
Disisi lain, ada masyarakat yang menjadi obyek dari penyebaran berita hoax ini. Ketika ditujukan kepentingan politik, berita jelek untuk pihak tertentu akan terus diproduksi. Kebijakan pemerintah jelek lah, ratna sarumpaet bohong lah, atau elit politik lain seperti itu lah, bermacam-macam. Nah, ketika masyarakat tidak bisa mencerna dengan baik atau tidak berpikir informasi ini benar atau tidak, maka mereka akan mudah terprovokasi.
Kasus Ratna Sarumpaet misalnya. Mungkin tidak ada yang menyangka, wajah yang lebam itu karena tindakan operasi wajah. Aktifitas lebam tidak jauh dari aktifitas pemukulan, penganiayaan, ataupun tindakan fisik lain. Alibi ini pula yang dibangun Ratna ketika itu. Apa yang kemudian terjadi? Pihak oposisi langsung menggelar pernyataan pers, menyatakan kekesalannya, menyatakan kemarahannya, dan mungkin juga ada rasa membenci negara ini karena tidak bisa melindungi warga negara.Â
Tak lama berselang, dunia maya mulai diisi dengan kebencian dan amarah dari para tokoh dan elit politik. Bagaimana dengan masyarakat biasa? Bagi para simpatisan tentu juga akan melontarkan amarahnya. Namun bagi yang mencoba berpikir secara jernih, akan memastikan dulu apakah informasi tersebut benar adanya.
Tak lama kemudian, polisi menyatakan bahwa informasi penganiayaan yang menimpa Ratna tidak benar, bahkan tidak ada. Kalangan dokter wajah, juga muncul yang mengatakan bahwa bengkak tersebut merupakan efek sesaat dari operasi plastik. Dan benar, keesokan harinya wajah Ratna kembali normal dan tidak ada bekas penganiayaan. Ratna pun akhirnya mengakui, bahwa dia telah melakukan kebohongan.
Sebelumnya, karena terprovokasi hoax di media sosial terkait larangan adzan di masjid, massa melampiaskan amarahnya dan melakukan pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara.Â
Jika kita membiasakan literasi dengan cara mencari informasi pembanding di portal yang lain, provokasi tersebut mungkin tidak akan terjadi. Dan jika kita mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal, semestinya tidak akan membiarkan diri ini dikendalikan oleh amarah. Kearifan lokal terbukti mampu menyatukan keberagaman di negeri ini.Â
Nilai-nilai yang kemudian diadopsi dalam Pancasila itu, semestinya muncul dalam setiap ucapan dan perilaku. Karena itulah, bekali diri kita dengan informasi yang valid, dan jangan lupakan tradisi lokal, yang terbukti efektif menjadi penyejuk dan pemersatu.