Di Fenerbahce Disambut Meriah, Pulang Sunyi, Jangan Biarkan Luka Itu Berulang di Benfica, Mourinho!
“Kekalahan hanyalah jeda, bukan akhir. Optimisme selalu menemukan jalannya.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah perpisahan yang sunyi selalu menandakan kegagalan abadi? Pertanyaan ini mengemuka ketika membaca laporan Detik.com edisi 19 September 2025 berjudul “Jose Mourinho di Fenerbahce: Datang Disambut, Pulang Sendirian”. Di sana, tersaji ironi pahit: Mourinho datang dengan gegap gempita, namun pergi tanpa tepuk tangan. Seolah gemuruh stadion berubah jadi bisikan hampa di lorong bandara.
Pada 30 Agustus lalu, Fenerbahce resmi mendepak Mourinho usai gagal menembus Liga Champions. Ironisnya, kegagalan itu datang dari Benfica—klub yang kini justru mengulurkan tangan untuk menyambutnya kembali setelah 25 tahun. Konteks ini membuat kisah Mourinho lebih relevan: hidup selalu memberi babak baru, bahkan dari luka lama. Seperti hujan yang berhenti di satu kota, tapi turun kembali di kota lain.
Sebagai penulis sekaligus pencinta sepakbola, saya melihat ini bukan sekadar drama seorang pelatih, tetapi potret tentang ekspektasi, keteguhan, dan harapan. Mourinho mungkin pulang sunyi dari Turki, tetapi di Lisbon ia punya peluang untuk menulis sejarah baru. Dan bukankah setiap sunyi hanyalah jeda sebelum riuh kembali?
Dari Euforia ke Sunyi: Luka Fenerbahce yang Membekas
Ketika Mourinho diperkenalkan di Ulker Stadium pada Juni 2024, sambutan luar biasa mengiringinya. Ribuan fans bernyanyi, spanduk membentang, dan janji-janji optimisme mengudara. Mourinho pun berujar, “Saya sudah dicintai bahkan sebelum memberi kemenangan.” Saat itu, langit Istanbul seakan ikut bernyanyi.
Namun setahun kemudian, momen itu berubah drastis. Mourinho meninggalkan Istanbul hanya dengan sebuah backpack, berjalan sendiri di bandara. Tak ada lagi sorak sorai, hanya keheningan yang menegaskan betapa tipis jarak antara cinta dan kecewa di sepakbola. Sebuah kontras yang menusuk hati, bagaikan panggung megah yang tiba-tiba padam lampunya.