Belajar dari Pesantren Mandiri: Pangan, Pikiran, dan Tindakan
"Orang yang tak merdeka makannya, tak merdeka pula pikirannya."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi itu di Depok, hamparan sayuran hijau tersusun rapi dalam rak-rak hidroponik. Santri bersarung berjalan di sela-sela tanaman, menyiram dan memeriksa daun dengan telaten, seakan kebun kecil itu bagian dari kitab pelajaran yang mereka tekuni.
Di Rabu (30/7/2025), Republika menurunkan laporan berjudul “Kemandirian Pangan dari Pesantren”. Lahan seluas satu setengah hektare di Pondok Pesantren Cendekia Amanah menjadi saksi bagaimana pesantren menolak hanya menjadi penonton dalam isu pangan nasional.
Apresiasi patut diberikan kepada KH Cholil Nafis dan para pengelola pesantren yang berani menghadirkan model pendidikan terintegrasi. Pesantren tidak hanya mendidik santri memahami agama, melainkan juga membekali mereka keterampilan hidup yang konkret. Inilah yang menjadikan Cendekia Amanah relevan di tengah tantangan pangan global saat ini.
Penulis tertarik membahas isu ini karena kemandirian pangan dari pesantren bukan sekadar urusan ekonomi. Ia terkait langsung dengan kedaulatan berpikir, kebersihan hati, dan daya tahan bangsa menghadapi krisis. Dalam konteks hari ini, di mana ketahanan pangan menjadi isu strategis nasional, pesantren tampil sebagai laboratorium sosial yang layak diteladani.
Pesantren Sebagai Inkubator Kemandirian
Pondok Pesantren Cendekia Amanah mengubah paradigma bahwa pesantren hanya pusat dakwah dan pendidikan agama. Dengan hidroponik, peternakan, dan kebun produktif, pesantren ini menjelma inkubator kemandirian pangan yang berdampak luas. Pesantren menjadi ruang di mana spiritualitas dan keterampilan berpadu harmonis.