Royalti Musik dan Etika Tata Kelola
"Kejujuran bukan sekadar nada, tapi melodi yang membangun kepercayaan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Ruang percakapan publik di media sosial kembali riuh pada Senin (11/8/2025) ketika penyanyi Ari Lasso mengungkapkan kekecewaannya terkait distribusi royalti musik. Berita “Ketika WAMI Jawab Kekecewaan Ari Lasso Soal Transfer Royalti…” yang tayang di Kompas.com (13/8/2025) memantik diskusi luas tentang transparansi dalam industri musik. Suasana ini menunjukkan bahwa isu royalti bukan sekadar urusan angka, melainkan kredibilitas dan kepercayaan.
Di tengah perkembangan industri kreatif yang semakin kompleks, polemik ini terasa relevan dengan kondisi saat ini. Kesalahan pengiriman laporan dan keraguan soal jumlah royalti menyoroti tantangan manajemen kolektif hak cipta di Indonesia. Publik, musisi, dan pengelola hak cipta kini berhadapan dengan pertanyaan: bagaimana memastikan sistem yang adil dan akuntabel?
Penulis merasa tertarik membahasnya karena peristiwa ini memotret hubungan antara seniman, lembaga pengelola, dan publik. Di balik nominal Rp 765.594 yang disebut Ari Lasso, ada nilai yang lebih besar: penghargaan terhadap karya dan integritas pengelolaan. Polemik ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi ujian bagi tata kelola industri musik yang sehat.
Kesalahan Teknis atau Gejala Sistemik?
Kesalahan pengiriman laporan yang dialami Ari Lasso dan beberapa anggota WAMI mungkin terlihat sebagai gangguan teknis semata. Namun, jika ditelusuri, kesalahan data anggota dan laporan yang tertukar dapat mengikis kepercayaan pada lembaga manajemen kolektif. Di era keterbukaan informasi, publik semakin sensitif terhadap transparansi.
WAMI memang telah meminta maaf dan memastikan tidak ada kesalahan dalam jumlah transfer royalti. Akan tetapi, pernyataan resmi saja belum tentu memulihkan persepsi publik. Kesalahan teknis bisa menjadi sinyal adanya celah dalam sistem pengelolaan data, kontrol internal, atau tata kelola teknologi informasi.