Autisme Bukan Penyakit: Membuka Jalan Adaptasi Lewat Pendampingan Empati
“Autisme bukanlah sebuah penyakit, melainkan sebuah kondisi yang perlu dipahami dan didampingi dengan pendekatan inklusif dan adaptif.” — Vitriani Sumarlis, Psikolog dan Wakil Kepala Kurikulum Pendidikan Inklusi Cikal
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada tanggal 17 Februari 2024, Kompas.com memuat artikel berjudul “Autisme Bukan Penyakit, Psikolog: Ada 3 Cara Mendampingi” yang disampaikan oleh Ayunda Pininta Kasih. Berita ini menghadirkan penjelasan penting dari Vitriani Sumarlis, seorang psikolog dan Wakil Kepala Kurikulum Pendidikan Inklusi di Sekolah Cikal, mengenai bagaimana autisme bukanlah sebuah penyakit melainkan sebuah kondisi neurologis yang memengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku individu.
Urgensi informasi ini sangat relevan di tengah berkembangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya inklusi dan penerimaan terhadap keberagaman kondisi neurodivergent. Di tengah maraknya mispersepsi yang menganggap autisme sebagai penyakit yang harus disembuhkan, penjelasan dari pakar seperti Vitriani Sumarlis memberikan arah baru dalam memahami dan mendampingi anak dengan autisme secara lebih tepat dan berempati.
Sebagai seorang editor yang kerap mengelola konten edukasi dan publikasi inklusif, saya tertarik mengangkat isu ini untuk memberikan wawasan lebih mendalam dan strategis bagi pembaca agar dapat memahami autisme secara benar, sekaligus mendorong kolaborasi efektif antara orang tua, sekolah, dan terapis. Artikel ini menjadi penting sebagai refleksi dan panduan praktis yang dapat diterapkan dalam upaya membangun masyarakat inklusif dan suportif.
1. Autisme: Kondisi Neurologis, Bukan Penyakit
Autisme adalah gangguan perkembangan yang bersifat neurologis dan menetap sepanjang hidup, bukan penyakit yang bisa disembuhkan. Hal ini penting dipahami agar stigma negatif terhadap individu autistik dapat dikurangi. Dalam konteks komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku, autisme memengaruhi cara individu memahami dan merespons lingkungannya secara unik.
Pesan utama dari penjelasan Vitriani adalah bahwa autisme harus diterima sebagai bagian dari keragaman manusia, bukan sebagai sebuah cacat atau gangguan yang harus dihilangkan. Sikap penerimaan dan pemahaman ini membuka jalan bagi pengembangan pendekatan pendampingan yang adaptif dan inklusif. Kritik terhadap stigma dan ketidaktahuan masyarakat menjadi panggilan untuk meningkatkan literasi neurodiversitas.