“Ketika Gunung Bukan Lagi Penjaga, Tapi Ladang Tambang: Siapa yang Menjaga Air, Hutan, dan Warisan Kita?”
Proyek Geotermal Gunung Gede dan Ketegangan antara Energi, Ekologi, dan Eksistensi Warga
Oleh Karnita
Pendahuluan: Di Balik Embun Gunung, Tersimpan Isu yang Mendidih
Pada Jumat pagi, 26 Juli 2025, Pikiran-Rakyat.com memuat artikel berjudul “Penolakan Meluas! Warga dan Walhi Kritik Proyek Geotermal di Gunung Gede Cianjur.” Suasana Gunung Gede-Pangrango yang biasanya dibayangkan sejuk dan tenteram mendadak terasa riuh oleh demonstrasi warga, poster-poster penolakan, dan pernyataan keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat. Daya tarik berita ini bukan hanya pada konfliknya, tetapi pada dilema struktural: ketika proyek ‘energi hijau’ justru ditentang atas nama keberlanjutan hidup.
Penulis tertarik mengulas isu ini karena menyentuh tiga lapis problematika sekaligus: ekologis, sosial-budaya, dan politik energi. Keindahan alam dan nilai strategis Gunung Gede bukan sekadar lanskap fisik, melainkan jantung spiritual, pertanian, dan ekosistem yang menopang jutaan warga. Penolakan terhadap proyek panas bumi bukan sebatas reaksi instan, melainkan akumulasi ketidakpuasan terhadap proses yang tidak inklusif, ditambah jejak trauma ekologis dari proyek sejenis sebelumnya.
Relevansi isu ini tak bisa diabaikan. Di tengah krisis iklim global, desakan transisi energi harus tetap mempertimbangkan prinsip keadilan ekologis dan partisipasi rakyat. Energi terbarukan tidak boleh menjadi “daun jendela” yang menutupi ketimpangan pengambilan keputusan. Ketika proyek “hijau” tidak transparan dan mengancam ruang hidup, masyarakat patut mempertanyakan: hijau untuk siapa?
1. Proyek Energi Hijau, Tapi Tanpa Persetujuan Publik?
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang digagas PT DMGP di Gunung Gede menuai kritik tajam karena minimnya keterlibatan warga sejak tahap perencanaan. Proses sosialisasi yang dilakukan di Balai Desa Sukatani disebut-sebut dilakukan secara tertutup dan tidak mengundang masyarakat luas. Akibatnya, muncul anggapan bahwa proyek ini disusun secara terburu-buru, menutup ruang partisipasi, dan hanya menguntungkan segelintir elite.
Kritik ini mencerminkan krisis kepercayaan terhadap proyek infrastruktur berbasis sumber daya alam. Padahal, prinsip free, prior and informed consent (FPIC) sudah menjadi standar internasional dalam proyek-proyek yang berdampak pada masyarakat lokal dan adat. Ketika prinsip ini diabaikan, maka proyek apa pun—meski diklaim ramah lingkungan—tetap menyisakan luka sosial.
Refleksi penting di sini adalah bahwa partisipasi publik bukan sekadar formalitas. Ketiadaan ruang dengar dan musyawarah memperbesar jurang antara pemerintah, perusahaan, dan rakyat. “Energi berkelanjutan harus dibangun di atas kepercayaan, bukan ketakutan,” begitu kata aktivis lingkungan dari Walhi, Hannah Alaydrus.