Sapaan yang Hilang di Balik Pagar: Saat Bertetangga Butuh Lebih dari Sekadar Senyum
"Di balik pagar rumah yang tinggi, kadang ada kesepian yang tak sempat disuarakan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Pagi, Pagar, dan Pertemuan yang Terlupa
Minggu pagi, 20 Juli 2025. Jalanan kompleks perumahan di kota-kota besar tampak sunyi meski matahari sudah mengintip dari balik genting. Hanya suara mesin cuci, musik dari dapur, dan derit pagar otomatis yang kadang terdengar memecah hening. Di tengah hiruk-pikuk virtual, relasi paling nyata---hubungan dengan tetangga---perlahan kehilangan makna. Harian Kompas pada edisi Minggu (2025, 20 Juli) menurunkan liputan berjudul "Bertetangga di Era Individualisme: Antara Privasi dan Peduli", menyoroti kegamangan masyarakat urban dalam menjaga relasi sosial di sekitar rumahnya.
Penulis tertarik mengangkat topik ini karena pengalaman pribadi: selama bertahun-tahun tinggal di sebuah komplek, tak pernah benar-benar mengenal siapa tetangga di balik dinding sebelah. Kerap hanya saling mengangguk atau melempar senyum sambil menutup pintu. Ini bukan sekadar pergeseran gaya hidup, tetapi juga pertanda genting bahwa rasa keterhubungan sosial di tingkat paling dasar---yakni lingkungan tempat tinggal---sedang terkikis. Apalagi dalam konteks pascapandemi dan tekanan hidup urban, ruang-ruang sosial justru semakin dibutuhkan untuk mendukung kesehatan mental dan solidaritas warga.
Urgensi persoalan ini tak bisa diabaikan. Di banyak kota besar, terutama Jakarta, Surabaya, dan Medan, angka konflik horizontal antarwarga meningkat, sementara gotong royong berkurang drastis. Bertetangga kini bukan lagi perihal pinjam garam atau menitip kunci rumah, tetapi menjadi bagian dari upaya membangun komunitas yang peduli, tangguh, dan inklusif. Artikel ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali: apakah pagar rumah yang tinggi juga meninggikan jarak kemanusiaan?
1. Dinding Nyata dan Batas Emosional
Pagar rumah kini bukan hanya struktur fisik, melainkan simbol kuat dari privasi dan keterasingan. Di banyak kompleks perumahan, pagar tinggi dilengkapi kamera dan interkom, menciptakan zona steril dari interaksi spontan. Padahal, dalam antropologi sosial, relasi tetangga yang sehat menciptakan jejaring sosial informal yang sangat penting untuk keselamatan, kesejahteraan, bahkan rasa memiliki atas suatu wilayah.
Namun tak bisa dipungkiri, banyak keluarga memilih menutup diri karena trauma atau kekhawatiran akan gangguan privasi. Ketakutan ini diperkuat oleh narasi media tentang kriminalitas dan tetangga "toxic". Akibatnya, alih-alih membangun relasi, kita menciptakan perimeter eksklusif yang melemahkan kohesi sosial. Di sinilah pentingnya membedakan batas fisik dan batas emosional---menjaga ruang pribadi tidak berarti menghapus ruang kepedulian.
Refleksi yang bisa ditarik: seberapa sering kita tahu kabar tetangga sakit, kehilangan, atau bahkan hanya sekadar ulang tahun? Tanpa kepekaan itu, rumah-rumah bisa menjadi pulau-pulau sunyi di tengah lautan beton yang padat.