Uang Kita, Rasa Kita: Menyatukan Cinta, Menyelaraskan Angka
"Bukan jumlah uang yang mempersatukan, tapi rasa saling percaya dalam mengelolanya." — Sultani N. Wibowo
Oleh Karnita
Pendahuluan: Saatnya Finansial Jadi Bahasa Cinta
Ketika cinta mengikat dua insan dalam satu atap, pertanyaan tak terelakkan muncul: "uang suami, uang istri, atau uang kita?" Pertanyaan ini mengemuka dalam artikel berjudul Uang Suami, Uang Istri, atau Uang Kita? Ini Cara Bijaknya! oleh Harmoko, tayang di Kompasiana.com, Kamis 10 Juli 2025. Lebih dari sekadar provokasi retoris, ini adalah isu yang menyentuh akar harmoni rumah tangga: kepercayaan, keterbukaan, dan kerja sama.
Di banyak keluarga Indonesia, urusan uang masih dibalut tabu, dibisikkan dalam gelap, atau malah dibiarkan tanpa sistem. Padahal, di balik angka-angka rupiah yang tersimpan di rekening bersama atau pribadi, tersembunyi rasa: rasa aman, dihargai, atau justru terabaikan. Maka, menyoal keuangan rumah tangga bukan soal teknis semata—ini tentang relasi.
Alasan artikel ini patut direnungkan bukan hanya karena urgensinya dalam menghadapi biaya hidup yang makin kompleks, tapi karena ia mengajak kita, para keluarga muda, untuk berdamai dengan uang sebagai bagian dari bahasa cinta. Bukan untuk berdebat siapa yang punya lebih, tapi bagaimana membuatnya bermakna.
1. Bukan Soal Sistem, Tapi Soal Kesepahaman
Tulisan Harmoko mengurai tiga sistem keuangan rumah tangga: gabung total, pisah total, dan hybrid. Tapi poin terpenting bukan sistemnya, melainkan bagaimana pasangan mencapainya. Jika diskusi keuangan dimulai dari perbandingan semata, bukan pemahaman, maka sistem apa pun akan pincang.
Di sinilah pentingnya membangun literasi keuangan emosional. Pasangan perlu memahami tidak hanya kondisi finansial satu sama lain, tetapi juga psikologi di baliknya: apakah seseorang boros karena trauma masa kecil? Atau hemat karena takut kehilangan kendali? Tanpa ini, angka hanyalah simbol kosong.