Insenerator memang terlihat menjanjikan: cepat, langsung “melahap” sampah, dan tidak butuh lahan luas seperti TPA. Namun, sebagaimana diungkap Walhi Jabar, teknologi ini tidak bebas dampak. Pembakaran sampah, terutama plastik dan limbah B3, menghasilkan emisi beracun seperti dioksin dan furan yang dapat mencemari udara dan berdampak pada kesehatan masyarakat.
Secara geografis, Bandung yang terletak di cekungan memperburuk keadaan. Polusi dari insenerator berpotensi terjebak dan tidak tersebar dengan baik. Ini bisa memicu krisis kesehatan baru, terutama di kawasan padat permukiman. Ironisnya, kebijakan ini dapat menimbulkan kerusakan ekologis di tengah upaya lain yang bersifat ramah lingkungan.
Alih-alih mengandalkan teknologi berisiko tinggi, Pemkot Bandung seharusnya berinvestasi pada teknologi rendah karbon, seperti biodigester skala kecil, dan memperluas sistem bank sampah yang terbukti efektif di berbagai wilayah. Pemilahan dari sumber dan pengolahan berbasis komunitas perlu diperkuat melalui insentif dan pendampingan.
3. Menyoal Kebijakan Berbasis Krisis
Dorongan membangun insenerator dalam skala besar adalah contoh kebijakan berbasis krisis: cepat tapi tidak menyeluruh. Meski dilandasi niat baik, strategi ini mencerminkan kurangnya perencanaan holistik dalam tata kelola sampah. Krisis tumpukan sampah seharusnya dijawab dengan kebijakan sistemik, bukan tambal sulam.
Keterlibatan aktor lokal seperti lurah dan camat memang penting dalam mengidentifikasi titik rawan. Namun, ketika peran mereka hanya difokuskan pada pelaporan dan pengangkutan, kita melewatkan potensi pemberdayaan untuk edukasi pemilahan dan komposting. Peran serta masyarakat harus didorong bukan hanya sebagai pelapor, tetapi sebagai pengelola.
Strategi penanganan sampah seharusnya berangkat dari data dan pemetaan potensi kawasan. Kota Bandung membutuhkan kebijakan yang menyinergikan pendekatan teknis, edukatif, dan ekologis. Membentuk ekosistem pengelolaan sampah berbasis kelurahan adalah salah satu cara konkret membangun solusi berkelanjutan.
4. Ekologi Sosial: Pemberdayaan yang Terancam
Walhi Jabar mengkhawatirkan matinya inisiatif warga akibat kehadiran insenerator. Kekhawatiran ini tidak berlebihan. Sejumlah komunitas di Bandung sudah lebih dulu mengembangkan kompos kolektif, sistem bank sampah, hingga ekowisata edukatif berbasis daur ulang. Jika insenerator menjadi sentral, maka pendekatan partisipatif ini bisa terpinggirkan.
Ekologi sosial bukan hanya soal pengelolaan sampah, tetapi juga tentang perubahan perilaku, pembentukan komunitas sadar lingkungan, dan penguatan nilai gotong royong. Proyek insenerator skala besar, yang didominasi pihak luar dan berbasis logika teknokratis, cenderung menyingkirkan semangat ini.
Oleh karena itu, Pemkot Bandung sebaiknya menyusun kebijakan yang menjadikan teknologi sebagai pelengkap, bukan pengganti upaya warga. Skema insentif, pelatihan, dan pemberdayaan untuk komunitas pengelola sampah organik dan anorganik harus dikukuhkan sebagai tulang punggung kebijakan persampahan kota.