Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Menimbang Pilihan Insenerator: Solusi Cepat, Risiko Lambat

12 Juni 2025   15:32 Diperbarui: 12 Juni 2025   15:32 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah petugas memilah sampah sebelum memasukkannya ke dalam insenerator. (Dok. Pikiran Rakyat/Irwan Suherman)

Menimbang Pilihan Insenerator: Solusi Cepat, Risiko Lambat
"Sampah bukan hanya soal bau, tapi soal masa depan lingkungan kita." – Jefry Rohman, Walhi Jabar

Oleh Karnita

Pendahuluan

Bandung kembali diguncang isu lingkungan serius. Pada 11 Juni 2025, Pikiran Rakyat melaporkan rencana ambisius Pemerintah Kota Bandung yang menargetkan pengoperasian 30 insenerator untuk mengatasi krisis sampah yang kian memburuk. Saat ini, baru tujuh insenerator aktif, namun dengan volume harian sampah mencapai 1.496 ton dan kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti terbatas hanya 1.000 ton per hari, pemerintah merasa perlu mengambil tindakan cepat.

Penulis tertarik menyoroti kebijakan ini karena perdebatan seputar insenerator mencerminkan dilema klasik dalam pengelolaan lingkungan: kecepatan versus keberlanjutan. Kritik tajam datang dari berbagai pihak, terutama Walhi Jabar, yang menyebut insenerator sebagai solusi instan yang berisiko memicu masalah kesehatan dan ekologi jangka panjang. Artikel ini akan mengupas isu secara menyeluruh: dari urgensi masalah, risiko kebijakan, hingga alternatif solusi yang lebih partisipatif dan berkelanjutan.

1. Darurat Sampah di Kota Bandung

Permasalahan sampah di Bandung bukanlah hal baru. Dengan total produksi hampir 1.500 ton per hari, kota ini menghadapi kesenjangan antara jumlah sampah dan kapasitas pembuangan. Data dari BPS Kota Bandung tahun 2020 mencatat 44,51% sampah berupa sisa makanan dan daun, diikuti plastik (21,67%) dan kertas (15,21%). Jenis-jenis sampah ini sebetulnya memiliki potensi untuk dikomposkan atau didaur ulang.

Sayangnya, respons pemerintah cenderung reaktif, bukan sistemik. Pengangkutan sampah dari titik penumpukan memang meredakan keluhan warga, tetapi tidak menyentuh akar persoalan: minimnya edukasi pemilahan dan keterbatasan sistem daur ulang. Perhatian Erwin terhadap sampah patut diapresiasi, namun respons kebijakan harus ditinjau dalam kerangka jangka panjang.

Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan teknologi rendah emisi. Menyederhanakan masalah menjadi semata urusan transportasi dan pembakaran justru menyingkirkan banyak peluang ekologis dan sosial yang sudah tumbuh di komunitas.

2. Insenerator: Antara Teknologi dan Ilusi Solusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun