Sekolah Teknik Rasa Pertanian: Fateta, Kau Akan Dibawa ke Mana?
“Pertanian akan menjadi garda terdepan sebagaimana arahan Pak Prabowo. Tantangan yang kita hadapi luar biasa besar, dan tidak bisa dijawab oleh satu pihak saja.” – Luhur Budijarso, Ketua Umum HAF IPB
Oleh Karnita
Pendahuluan
Keputusan mengubah nama Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University menjadi Sekolah Teknik bukan sekadar urusan plakat. Sejak pertama kali muncul di Koran Kampus IPB (4 Mei) dan Kompas.com (7 Mei), wacana ini memantik reaksi keras, hingga memuncak dalam laporan Pikiran-Rakyat.com pada 9 Juni 2025 berjudul “Fateta IPB Terancam Bubar”. Di sana, alumni mempertanyakan arah kebijakan yang dinilai mengikis akar identitas pertanian kampus yang sudah dibangun sejak 1965.
Sebagai pemerhati pendidikan yang kerap menelusuri jejak kebijakan pendidikan, saya melihat isu ini menyentuh jantung IPB sebagai kampus agrikultur. Dalam wawancara dengan Kompas (3 Juni), Prof. Aman Wirakartakusumah mengingatkan bahwa perubahan nama tak boleh mencabut ruh pertanian yang menjadi landasan IPB. Sementara itu, alumni dalam laporan Pikiran Rakyat menegaskan: seharusnya pertanian justru menjadi garda terdepan, bukan dilebur dalam nama teknokratis yang kabur batasnya.
Kekhawatiran ini kian relevan jika dikaitkan dengan Asta Cita Presiden Prabowo yang menjadikan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan. Jika pertanian dilemahkan secara simbolik dan struktural—meski dibalut jargon teknik modern—maka kita kehilangan peluang strategis membuktikan bahwa bangsa ini bisa berdikari lewat tanah dan teknologi sendiri.
Lebih dari Nama, Ini Soal Akar dan Arah
Pernyataan mantan Rektor IPB, Aman Wirakartakusumah, tak bisa dianggap angin lalu. Ia menyebut bahwa IPB berisiko kehilangan jati dirinya sebagai kampus pertanian jika Fateta ditransformasi secara nomenklatural. Bukan tanpa alasan: sejak 1965, Fateta telah menjadi simpul penting dalam hilirisasi teknologi pangan, keteknikan, dan rekayasa pasca-panen.
Ketika nama itu hilang, bisa jadi kita turut mengubur identitas. Karena Fateta tidak pernah sekadar tempat belajar mesin pertanian, melainkan pusat tumbuhnya gagasan-gagasan strategis soal keberlanjutan, agroindustri, dan inovasi pangan. Nama itu—bagi ribuan alumni—bukan beban masa lalu, tapi kompas masa depan.