Terkenang Topeng Cirebon
"Kita bukan hanya sedang melestarikan tarian, kita sedang menyelamatkan ingatan bangsa."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Warisan Tak Sekadar Ditonton
Festival Topeng Cirebon kembali digelar pada 25–26 April 2025 di Balaikota Cirebon. Diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Cirebon, perhelatan ini menghadirkan lima pewaris maestro Tari Topeng dengan lima wanda khas: Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, dan Kelana. Tak sekadar panggung pertunjukan, festival juga memuat workshop lukis topeng, seminar budaya, hingga momen penting: penyerahan surat register Museum Topeng dari Kementerian Kebudayaan kepada Pemkot Cirebon.
Berita ini pertama kali saya baca dari Kompas.com, Kamis (24/4/2025). Dalam laporan tersebut, Plt Sekdisbudpar Kota Cirebon, Ramli Effendi, menyebutkan bahwa festival ini merupakan agenda ketiga kalender pariwisata kota setelah Festival Capgomeh dan Festival Ramadhan. Semangatnya bukan hanya festival tahunan, tetapi pernyataan identitas budaya yang hendak dikukuhkan ulang di tengah arus modernitas.
Saya tergerak menulis refleksi ini karena merasa topeng—sebagai simbol, seni, sekaligus narasi identitas—telah lama menjadi artefak yang hanya sesekali dibersihkan. Padahal, di balik tiap warna, goresan, dan gerak tari topeng, tersimpan filosofi dan warisan panjang yang dulu menyatu dalam denyut kehidupan masyarakat Cirebon.
1. Topeng Itu Nafas, Bukan Hiasan
"Tari topeng bukanlah tontonan. Ia adalah tuntunan yang menari di panggung sejarah."
Topeng Cirebon tak sekadar wajah kayu yang dipahat dan dicat. Ia hidup sebagai bagian dari siklus budaya yang sarat makna: penanda karakter manusia, narasi keagungan, hingga refleksi nilai-nilai spiritualitas. Wanda-wanda tari seperti Panji dan Kelana, misalnya, menyiratkan filosofi tentang kedamaian dan nafsu angkara. Ini bukan kebetulan, melainkan cara nenek moyang menanamkan moral lewat estetika.
Sayangnya, dalam kurun waktu yang cukup panjang, keberadaan seni topeng justru lebih dikenal sebagai "atraksi daerah" ketimbang akar budaya. Kita melihatnya sebagai produk eksotisme pariwisata, bukan sebagai denyut kehidupan. Ketika itu terjadi, topeng kehilangan kekuatan simboliknya—ia menjadi benda pasif yang hanya dipakai, bukan dimaknai.