Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mbok Yem Telah Tiada, Tapi Jejaknya Abadi di Puncak Lawu

24 April 2025   22:11 Diperbarui: 24 April 2025   22:11 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Di antara dingin kabut Lawu dan detak jantung pendaki yang letih, selalu ada satu wajah ramah yang menyambut: Mbok Yem."(Radar Solo)

Mbok Yem Telah Tiada, Tapi Jejaknya Abadi di Puncak Lawu

"Di antara dingin kabut Lawu dan detak jantung pendaki yang letih, selalu ada satu wajah ramah yang menyambut: Mbok Yem."

Oleh Karnita

Pada Rabu, 23 April 2025, langit Gunung Lawu seolah berkabung. Sosok yang selama puluhan tahun menjadi penjaga puncaknya, Mbok Yem — atau Wakiyem dalam nama lengkap — berpulang dalam usia 82 tahun. Kabar itu menyebar cepat, tidak hanya di antara para pendaki yang pernah menapaki jalur Cetho dan Cemoro Sewu, tetapi juga mereka yang mendengar kisah tentang seorang ibu tua yang menjual nasi pecel di ketinggian 3.265 meter dengan ketulusan tak tertandingi.

Artikel ini bukan sekadar upaya mengenang, tetapi juga menelusuri jejak kasih sayang yang ditinggalkan seorang perempuan sederhana, yang memilih tinggal di langit untuk menyambut mereka yang mendaki. Di tengah dingin, ia hadir sebagai hangat. Di antara lelah, ia menjadi semangat.

1. Warung di Atas Awan

Di puncak Gunung Lawu, jauh dari riuh kota, berdiri sebuah warung sederhana. Di sanalah Mbok Yem mengabdikan hidupnya. Warung itu bukan sekadar tempat makan—ia adalah tempat perteduhan batin, di mana pendaki lelah bisa rebah sejenak, menyeruput teh hangat, dan merasakan kehadiran seorang ibu.

Nasi pecel, telur dadar, kopi hitam—menu yang tampak biasa di kaki gunung, namun terasa luar biasa di puncak. Di setiap suapan, terselip ketulusan tangan yang memasaknya. Banyak yang mengatakan, warung Mbok Yem bukan sekadar tempat singgah, melainkan sebuah titik temu antara lelah dan harapan.

Ia sering memasak di tengah malam, dalam suhu menusuk dan tubuh yang renta. “Masih ada yang belum makan,” katanya suatu kali, sembari menyalakan tungku kecil di pukul dua dini hari. Itulah Mbok Yem: tak pernah membiarkan lapar menjadi teman para tamu gunung.

2. Hidup di Atas Langit, dengan Kaki Tetap Membumi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun