Mohon tunggu...
Kardiaman Simbolon
Kardiaman Simbolon Mohon Tunggu... Lainnya - Menginspirasi

Apa yang kauperbuat bagi saudaraku yang paling hina ini, itu kau lakukan untuk Aku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Agama Kristen Demikian Buruk?

26 September 2010   09:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:57 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Kardiaman Simbolon

Dewasa ini agama Kristenmenuai banyak kritik dari berbagai pihak, baik dari para ekolog, kaum pluralis maupun kaum ateis modern. Mereka berusaha menggugat eksistensi agama Kristen. Bagi penganut Kristen kritikan tersebut merupakan tantangan yang perlu ditanggapi dengan dewasa, bukan dengan sikap infantil.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkritisi kebenaran kritik terhadap agama Kristen. Penulis menyadari pentingnya hal itu untuk mempertahankan eksistensi. Selain itu, tulisan ini berupa usulan jawaban apabila penganut Kristen menghadapi kritik.

Para Ekolog dan Kaum Pluralis

Agama Kristen harus bertanggung jawab penuh terhadap sikap-sikap negatif yang dilakukan terhadap alam dan kerusakan lingkungan”. Demikianlah tuduhan dari para ekolog terhadap agama Kristen. Kritik tersebut mereka dasarkan pada Kitab Kejadian 1:26; “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Para ekolog menafsirkan “berkuasa” sebagai penaklukan mutlak, penghalalan mengeksplorasi alam dengan sembarangan.

Interpretasi yang demikian jelas salah. Sebab jika dimengerti dengan baik, kata “berkuasa” menunjukkan semangat menghormati dan memelihara. Arti “berkuasa” sebenarnya ajakan memaksimalkan kualitas, bukan kuantitas, dengan menghindari penyalahgunaan sampai seminimal mungkin.

Dengan demikian, tidaklah benar jika dikatakan bahwa agama Kristen menghalalkan penaklukan akan alam. Justru sebaliknya, penganut agama Kristen dipercaya oleh Allah untuk memelihara alam semesta agar tetap utuh.

Setelah menuai kritik dari para ekolog, kaum pluralis menyusul menyuarakan kritik. Mereka mempertanyakan; “Kenapa penganut agama Kristen tidak tahan pada perbedaan? Mengapa Kristen tidak berani mengakui bahwa ada dalil-dalil yang memonopoli kebenaran dan menolak kebenaran-kebenaran lain.” Demikian kritik kaum pluralis terhadap Kristen. Kita seolah-olah dipaksa mengakui bahwa ada dalil-dalil yang mendasari hidup Kristen untuk memonopoli kebenaran.

Memang problem pluralis merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Secara historis sesungguhnya problem pluralis sudah dialami oleh setiap tradisi keagamaan. Bahkan pada awalnya, agama Kristen muncul ditengah pluralitas.

Penganut agama Kristen telah berefleksi sepanjang sejarah dan hasil refleksi itu menawarkan relativisme, sebagai satu cara primordial untuk menampik anggapan tersebut di atas. Kita sudah berusaha mencari benang merah antara pluralitas dengan tradisi kristen.Tawaran ini muncul dari keyakinan bahwa setiap agama punya hakikat sama, yang esessial pasti sama, tapi yang tidak esessial bisa berbeda.

Untuk mengerti lebih mendalam, disini dibedakan adanya dua gejala, yakni: (1) gejala iman sebagai pengalaman batin tentang “satu Tuhan” dan, (2) gejala kumulatif sebagai ungkapan eksternal atas iman. Nilai terbesarnya bukan pada satu diimani, melainkan pada adanya kemungkinan untuk berinteraksi dengan agama lain tanpa kehilangan identias sebagai pengikut Kristus. Maka tugas kita adalah; bagaimana mengartikulasi ajaran Kristus Yesus dalam bentuk yang dapat diterima oleh kelompok manapun, atau penganut apapun, tanpa meniadakan yang lain.

 

Modernisme

Seiring pekrembangan zaman, agama Kristen kini berada dalam paradaban baru. Banyak orang merasa dirugikan oleh perkembangan Ip-Tek. Hal inilah yang membuat mereka memvonis agama Kristensebagai biang keladi di balik lahirnya sains dan teknologi. Lahirnya sains dan teknologi mengalienasi manusia dan tidak mengindahkan nilai kemanusiaan. Adanya iman akan Tuhan yang transenden, yang “dimutlakkan” secara implisit, dikatakan, menafikan kekuatan gaib yang inheren di dalam alam. Alam tidak lagi dianggap sebagai yang sakral karena membunuh animistis. Ditambah lagi, turunnya Wahyu yang memerintahkan manusia untuk menguasai bumi dan segala isinya.

Di satu sisi memang harus diakui bahwa konsep penciptaan Kristenitas secara sepihak relevan bagi lahirnya sains dan teknologi modern. Tuhan yang dimengerti sebagai satu-satunya sumber keberadaan segala sesuatu menyerahkan ciptaannya kepada manusia.

Namun, jika dirujuk sampai ke akarnya, lahirnya sains dan teknologi bukan karena paham penciptaan Kristentis, melainkan karena 4 faktor yang tak satupun terkait dengan dogma Kristenme. Adapun keempat faktor tersebut adalah: (1) bertambahnya kemakmuran masyarakat, (2) majunya pendidikan, (3) adanya penemuaan mesin-mesin, serta (3) luasnya ruang gerak, kebebasan, dan penjelajahan baru. Jadi, prakarsa lahirnya sains bukan karena ajaran Kitab Suci.

Disamping itu, setelah banyak manusia yang teralienasi karena teknologi, banyak pemikir modern yang memperjuangkan emansipasi manusia, menolak agama sebagai kepercayaan kepada Tuhan. Ludwig Andreas Feuerbach memandang agama Kristen sebagai proyeksi dari manusia itu sendiri. Karl Marx memandang agama sebagai opium yang meninabobokan manusia. Dan Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan manusia yang radikal dan absolut, yang dengan sendirinya mengabaikan eksistensi Allah.

Kritik di atas begitu keras. Namun kalau kita telisik lebih dalam, argumen itu tidak didasarkan pada landasan yang kuat. Teori-tori yang mereka lontarkan hanya bicara mengenai fungsi agama; (psikologis, pelarian reprentatif), bukan esensi agama, yakni penerimaan akan adanya Tuhan yang merupakan unsur hakiki dalam agama. Namun meskipun demikian, kritik para ateis modern tersebut setidaknya menjadi bahan refleksi bagi penganut Kristen. Apakah kita sudah memperhatikan dimensi humanis secara serius? Apakah agama Kristen sudah menjadi sumber pencerahan bagi manusia?

Berakhirnya kritik dari kaum ateis belum melegakan hati kita. Ditengah perspektif modern agama Kristen dipandang survive hanya berkat kepercayaan naif atas otoritas, misteri, mujizat, dan wahyu belaka. Beriman kepada Kristus dianggap karena otoritas wahyu. Oleh karena itu, banyak pihak yang berusaha mengugat dogmatisasi wahyu yang infalibilitas.

Kritik ini tidak bisa diterima begitu saja. Kita harus melihat konteks manusia modern yang tidak mau diatur, ingin bebas. Mereka lebih suka mengatur daripada diatur, lebih cenderung mencari fleksibilitas daripada kepastian hukum, apalagi sebuah dogma yang hukumnya kekal dan tak tergugat. Kritik tesebut seolah-olah didasarkan pada kepentingan sepihak.

 

Penutup

Sekarang ini kita hidup dalam dunia pluralitas. Ide Kristenitas pun secara gradual bisa terkikis. Disamping banyaknya manusia yang menolak berhadapan dengan satu-satunya pilihan,mulai dari life style, hobi, cita-cita, ideology, manusia menjadi sulit diajak kompromi untuk mengakui dan mengimani Yesus Kristus. Dan memang bukan itu tujuan kita.

Akan tetapi, Jika agama dan ajaran Kristen ingin tetap survive ditengah jaman yang berubah-ubah, maka tak ada jalan lain kecuali dengan menawarkan sikap dialog kritis. Sikap kritis merupakan salah satu cara mempererat dialog antar umat beragama dengan problem kehidupan. Artinya, semua pihak terbuka terhadap kritik dan juga terbuka terhadap kebenaran yang ada. Agama Kristen bagaimanapun tidak bisa dipisahkan dari problem dunia.

*****

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun