Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kiat Mempercepat Berakhirnya Pandemi dari Lensa Ekonomi Kesehatan

28 September 2020   18:46 Diperbarui: 2 Oktober 2020   05:46 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menurunnya kurva penderita covid-19. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Ini ditunjukkan oleh Indeks Hak Properti Internasional yang berkorelasi tinggi dengan Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Inovasi Bioteknologi Global, dan Indeks Kewirausahaan Global.

Namun kini, beberapa ekonom termasuk peraih hadiah Nobel Joe Stiglitz dan Michael Kremer sudah menyuarakan dukungan untuk relaksasi regulasi hak properti dari vaksin SARS-CoV-2 kelak.

Stiglitz dkk. mengusulkan dibentuknya patent pooling yang memperbolehkan beberapa perusahaan---alih-alih hanya satu---untuk mensuplai obat atau vaksin baru dengan harga yang lebih terjangkau. Aksi anti-monopoli semacam ini juga diterapkan pada pembuatan vaksin untuk flu yang sudah berjalan selama 50 tahun.

Sementara itu, Kremer dkk. berpendapat bahwa kooperasi internasional perlu dibangun sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak sumber daya dari berbagai negara dan memperluas kapasitas manufaktur vaksin. Kerjasama tersebut juga dapat memfasilitasi perjanjian distribusi vaksin secara needs-based.

Ini berarti memperbolehkan adanya free-rider dengan syarat tertentu, sebab biasanya negara yang paling membutuhkan adalah negara yang paling miskin dan bisa saja mereka tidak mampu ikut mendonasikan uang ke dalam aliansi yang dibentuk.

Ringan sama Dijinjing

Kerjasama multilateral tidak hanya berhenti di vaksin saja. Di masa depan diperlukan pula reformasi untuk mengubah badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi pusat perhatian saat ini yaitu WHO.

Lembaga tersebut memiliki 194 anggota, tapi satu dari 10 pegawainya berasal dari AS. Tetapi, AS juga rupanya menjadi donatur paling murah hati, selama 2018---2019 ia menyumbangkan hampir 900 juta dolar kepada WHO---hampir dua kali lipat jumlah yang diberikan donatur kedua terbanyak.

Ini menjadi masalah karena kontribusi yang timpang antarnegara ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai contoh, WHO membutuhkan dana tetapi negara yang memberikan memberikan syarat tertentu yang lebih menguntungkan negara tersebut daripada anggota lainnya secara kolektif. 

Selain itu, WHO menjadi sangat tergantung kepada segelintir donatur. Misalnya saja, ketika Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari keanggotaan berarti WHO kehilangan salah satu sumber dana terbesarnya. Apalagi, diketahui bahwa hanya 20% dari total dana yang dipegang WHO itu sudah pasti didapatkan dan diberikan tanpa syarat.

Ini tentu saja perlu segera dibenahi mengingat betapa penting peran WHO dalam dunia kesehatan internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun