Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Realita Pahit di Balik Janji Manis Globalisasi

29 Mei 2020   18:00 Diperbarui: 29 Mei 2020   18:08 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih lanjut, pemimpin monarki Tudor seperti Henry VII (1485-1509) mentransformasi Inggris dari negara yang sangat bergantung pada ekspor wol mentah menjadi produsen wol paling tangguh di dunia (Defoe, 1728 dalam Chang, 2002). Langkah-langkah yang diambil termasuk meningkatkan bea ekspor dan melarang ekspor wol mentah untuk sementara. Menurut Chang (2002), tanpa industri utama ini, yang menyumbang setidaknya setengah dari pendapatan ekspornya selama abad ke-18, akan sulit bagi Inggris untuk melakukan revolusi industri.

Kebijakan tersebut adalah apa yang disebut dengan infant-industry argument, yang dipelopori oleh ekonom Jerman Friedrich List. Kemudian, negara pertama yang menteorisasi argumen itu adalah AS ketika Menteri Keuangan pertama mereka, Alexander Hamilton, menulis laporan kepada Kongres AS berisi dukungan untuk the theory of infant industry protection (Chang, 2019). Pada dasarnya, teori tersebut mengatakan bahwa bahwa pemerintah negara-negara berkembang perlu memelihara dan melindungi industri-industri muda mereka hingga tumbuh dan mampu bersaing di pasar dunia.

Namun, hampir seabad kemudian Chang (2002) mencatat bahwa tarif Inggris merosot menjadi 23% sementara tarif AS turun menjadi 14%. Mereka mulai menjadi pendukung setia perdagangan bebas pada awal abad ke-19. List (1841, dalam Chang, 2019) mengutuk tindakan ini sebagai “kicking away the ladder” sehingga negara lain tidak bisa mengikuti jejak mereka. Para negara maju menjadi kaya dengan memanjat tangga (i.e., menggunakan kebijakan proteksionis), tetapi mereka justru memberi tahu negara-negara berkembang untuk meliberalisasi perdagangan mereka.

Tanpa mendengar kritik dan bercermin kepada sejarah, mereka lalu bergerak lebih jauh untuk membuat Konsensus Washington, yaitu istilah yang dipakai oleh Williamson (2004) untuk menyebut seperangkat kebijakan ekonomi yang diadvokasikan untuk negara-negara berkembang oleh lembaga keuangan internasional yang berlokasi di negara bagian Washington, AS (terutama IMF dan World Bank). Selain liberalisasi perdagangan, paket ini juga meliputi privatisasi, deregulasi, reformasi pajak, dan sejumlah kebijakan lainnya (Williamson, 2004).

Mulanya, Konsensus Washington ini ditujukan untuk negara-negara di Amerika Latin (Williamson, 2004). Selama periode tahun 1985 hingga 1999, negara-negara seperti Meksiko, Argentina, Brasil, Kolombia, Bolivia, dan Peru melakukan liberalisasi sektor perdagangan dan keuangan serta kebijakan lainnya yang direkomendasikan oleh Konsensus Washington. Namun, tingkat pertumbuhan mereka tetap di bawah tingkat pra-1980 (Rodrik, 2003).

Di belahan dunia lain, tepatnya negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Taiwan, strategi pertumbuhan yang digunakan menunjukkan perbedaan yang signifikan dari Konsensus Washington (Rodrik, 2003). Mereka tidak melakukan deregulasi atau liberalisasi pada sektor perdagangan mereka hingga era 1980-an. Kedua negara menerapkan serangkaian kebijakan industri yang luas, termasuk proteksionisme perdagangan, subsidi ekspor, dan intervensi lainnya. Ironisnya, dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan mereka justru melesat melampaui negara-negara di Amerika Latin (lih. Gambar 1).

Gambar 1. Sumber: Rodrik (2003)
Gambar 1. Sumber: Rodrik (2003)

Di negara-negara berkembang, industri domestik yang belum cukup dewasa didorong untuk berkompetisi di kancah internasional. Sudah tentu produk mereka, terkhusus manufactured goods, akan kalah saing dari yang dihasilkan oleh produsen dari negara-negara maju dalam harga, kualitas, dan kredibilitas. Hal ini menyebabkan berkurangnya permintaan akan barang yang mereka jual, sehingga ekspor dan produksi dari manufactured goods pun menurun.

Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB dan porsi employment dari sektor tersebut. Fenomena ini dinamai deindustrialisasi prematur (Rodrik, 2015). Akibatnya, di beberapa kasus, negara-negara berkembang terpaksa kembali ke produksi dan ekspor komoditas primer yang hanya membutuhkan pemrosesan sederhana dan padat karya dengan prospek pengembangan yang kecil (Shafaeddin, 2005). Padahal, sektor manufaktur dan proses industrialisasi adalah kunci dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Masalah-masalah yang dialami oleh negara-negara berkembang di atas masih ditambah lagi dengan praktik perdagangan yang tidak adil. Contohnya yang paling nyata adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok. Baru-baru ini, AS juga menghapus Indonesia dan beberapa negara lain dari daftar negara berkembang di WTO sehingga kehilangan privilese yang seharusnya diperoleh. Perdagangan bebas yang kita miliki sekarang telah menjelma menjadi zero-sum game alih-alih win-win solution seperti yang ditawarkan oleh para ekonom.

The visible hand

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun