Di lain sisi, Immanuel Kant menyatakan bahwa sebuah nyawa manusia tak tergantikan dan memiliki martabat yang tak ternilai dengan uang. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa net damage di kasus itu bernilai positif, sehingga diperlukan upaya untuk mencegah tindak kriminal itu terjadi. Menariknya, temuan itu tidak bertentangan dengan adanya upaya pemberantasan pencuri dan begal pada saat ini.
Kembali kepada dua kasus sebelumnya, bagaimana jika korban yang membunuh si pelaku? Tentu, sang begal dan pencuri akan kehilangan nyawanya. Akan tetapi, 'pembunuhan' itu telah menghilangkan potensi mereka untuk membunuh nyawa korban di saat itu dan orang lain di kemudian hari. 'Pembunuhan' bermotif bela diri tersebut jelas didukung oleh masyarakat dan layak disebut sebagai pembunuhan yang efisien (Winter, 2008). Bahkan, rasanya belum ada hukum dan upaya untuk memberantas 'pembunuhan' semacam itu.
Expected Punishment dan Behavioural Economics
Setelah mengenal adanya tindak kriminal yang efisien, kemudian bagaimana cara ilmu ekonomi memberantas tindak kriminal yang tidak efisien? Dalam jurnalnya, Becker (1968) juga memaparkan atribut expected punishment dengan formula sebagai berikut:
Seorang pelaku kriminal yang rasional akan mempertimbangkan expected punishment sebelum menjalankan aksinya. Sederhananya, seseorang tidak akan mencuri seekor ayam kalau takdir yang menanti adalah hukuman penjara sepuluh tahun.
Di lain pihak, para penegak hukum bisa memaksimalkan dua komponen pendukungnya demi keamanan masyarakat. Atribut p dapat ditingkatkan dengan menambah jumlah polisi dan penyidik yang bertugas di lapangan. Lalu, atribut f dapat ditingkatkan dengan memperbesar denda, memperpanjang masa tahanan, dan bahkan menggalakkan pelaksanaan hukuman mati. Suatu nilai expected punishment dapat dicapai dengan kombinasi p dan f yang berbeda karena sifatnya yang berbanding terbalik. Artinya, kita bisa memanfaatkan sumber daya yang terbatas secara efisien untuk mencapai tingkat pencegahan tindak kriminal yang diharapkan.
Adanya expected punishment juga menjelaskan mengapa pelaku kriminal cenderung meluncurkan aksinya di malam hari dan tempat yang sepi. Semakin sedikit polisi yang berjaga dan orang yang berlalu lalang, maka kemungkinannya untuk tertangkap semakin kecil. Menarik bukan? Ternyata, seorang pelaku kriminal juga menggunakan rasionalitasnya di saat 'bekerja'. Akan tetapi, rasionalitas pelaku kriminal dan expected punishment menerima kritik yang konstruktif di perjalanannya.
Menurut Thaler et al. (1998), seorang pelaku kriminal bukanlah rational man melainkan manusia pada umumnya. Dikatakan bahwa pelaku kriminal memiliki bounded rationality yang membuat mereka seringkali keliru dalam melihat risiko yang sesungguhnya. Misalnya, seorang pengendara nakal yang kebetulan tidak melihat polisi akan cenderung memilih untuk menerobos lampu merah. Padahal, polisi tetap ada dan hanya bersembunyi di balik pohon di seberang jalan, sehingga kemungkinannya untuk tertangkap sebenarnya tidak berubah.
Tak hanya itu, di saat efek gain seperti uang dan kepuasan dirasakan langsung oleh pelaku kriminal, efek hukuman seperti penjara tidak terasa secara langsung oleh mereka. Hal itu terjadi karena adanya pelaku kriminal yang relatif lebih present-oriented, sampai-sampai melakukan pengabaian (discounting) terhadap perkara di masa depan (Polinsky, Shavell, 1999). Penambahan intensitas hukuman menjadi tidak efisien lagi karena mereka sudah terbuai oleh iming-iming uang dan kepuasan dari suatu tindak kriminal.
Kesimpulan