Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

"The Reclamation Effect"

27 November 2017   19:04 Diperbarui: 27 November 2017   19:07 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Masalah kependudukan yang ada di Jakarta merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama dan hingga sekarang penyelesaian permasalahan ini belum menunjukkan suatu perubahan yang signifikan. Saat ini, Jakarta memiliki jumlah penduduk lebih dari 10 juta manusia dan total luas wilayah  sebesar 661,52 km2. Artinya, Jakarta memiliki kepadatan rata -- rata sebesar 15.052,84 orang/km2. Jakarta menjadi provinsi yang memiliki kepadatan rata -- rata penduduk tertinggi di Indonesia mengalahkan Jawa Barat dengan angka 1.256,52 orang/km2 dan Jawa Timur dengan angka 812,76 orang/km2. Jumlah manusia yang terus bertambah tanpa pertambahan luas wilayah menimbulkan masalah kependudukan yang turut menimbulkan permasalahan lain. Masalah kemacetan dan tata ruang adalah masalah yang sangat mungkin muncul akibat hal tersebut.

Solusi untuk Jakarta dalam masalah penduduk Jakarta yang terus bertambah adalah memindahkan mereka ke tempat lain. Program Transmigrasi yang cukup terkenal dari zaman penjajahan dinilai banyak kalangan tidak efektif karena infrastruktur daerah yang belum siap menampung dan menghidupi para transmigran, terlebih keberadaan transmigran dinilai dapat mempercepat penebangan hutan dan eksporasi sumber daya alam secara besar - besaran seiring meledaknya jumlah penduduk di daerah yang penduduknya sedikit. 

Ketika daratan sudah terlalu penuh untuk diolah menjadi lahan penduduk baru, perhatian pun beralih menuju pengolahan laut di sekitar Jakarta. Jakarta dengan luas lautan 6.977,5 km2 memiliki potensi yang besar untuk menjadi tempat proyek pemindahan penduduk secara massal. Bagian utara Jakarta yang berbatasan langsung dengan berbagai teluk memunculkan ide perluasan wilayah yang telah diimplementasikan di berbagai negara, yaitu reklamasi.

Reklamasi pada intinya adalah membangun daratan di atas lautan, atau dapat dikatakan sebagai artificial land. Dengan adanya reklamasi, akan ada wilayah baru yang bisa menambah jumlah wilayah Jakarta secara keseluruhan.  Wilayah baru tersebut dapat  menjadi pusat kegiatan ekonomi dan bisnis baru, sehingga seluruh pihak yang terlibat, baik swasta maupun pemerintah, dapat meraih keuntungan. Proyek yang digaungkan kala pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini berdasar atas keinginan Presiden Soeharto pada tahun 1985 untuk melaksanakan reklamasi di Jakarta. Selain itu, Ahok berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam Keppres itu, Gubernur DKI Jakarta memiliki wewenang untuk memberikan izin reklamasi. Hal ini disampaikan Ahok untuk menyangkal komentar -- komentar yang menuduhnya melakukan proyek reklamasi hanya untuk kepentingan investor asing semata.

Selain berdasar pada dasar hukum yang ada, Pemerintah DKI Jakarta telah mengkaji beberapa manfaat reklamasi. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengungkapkan ada 3 manfaat dari pengembang kawasan strategis pantai utara Jakarta yaitu kewajiban, kontribusi lahan, dan tambahan kontribusi. Dari kewajiban, pengembang wajib menyediakan prasarana dan sarana dasar setiap pulau, infrastruktur penghubung antar pulau, dan pengerukan sedimentasi kanal lateral dan vertika sekitar pulau reklamasi. 

Selain itu, dari kontribusi lahan, pengembang harus menyerahkan 5 persen dari total luas lahan HPL. Melalui kontribusi tambahan, Pemprov DKI masih meminta kontribusi tambahan sebesar 15 persen dari lahan yang menjadi bagian pengembang. Nantinya, kontribusi tambahan itu bukan dibayar dengan uang melainkan dalam bentuk revitalisasi. Misalnya revitalisasi lingkungan dan bangunan bersejarah, pelestarian hutan bakau dan hutan lindung, perluasan dan peningkatan fungsi pelabuhan, dan lainnya.

Akan tetapi, proses reklamasi dihantui polemik antar elit politik yang saling berdebat mengenai urgensi dan dampak dari reklamasi. Perdebatan diawali dengan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menerbitkan moratorium reklamasi Pulau C, D, dan G pada pertengahan 2016 dengan dasar penilaian bahwa para pengembang pulau reklamasi perlu menyesuaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Namun, berdasarkan Surat Menko Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator bidang Kemaritiman mencabut moratorium tentang pemberhetian sementara proyek reklamasi Pulau C,D, dan G. 

Ia menilai bahwa pengembang telah memenuhi sejumlah syarat yang diminta oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga sanksi administratif bisa dicabut. Tidak berhenti di situ, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat ini melalui janji kampanyenya mengatakan akan menghentikan dan menghapus proyek reklamasi ini. Menurutnya, reklamasi justru akan merugikan masyarakat dari segi ekonomi dan lingkungan. Anies merasa bahwa para nelayan akan dirugikan, karena reklamasi bisa merusak biota laut dan mengikis penghasilan nelayan, petambak, dan warga pesisir.

Apabila kita melihat negara -- negara lain seperti Tiongkok, Singapura, dan Uni Emirat Arab, kita dapat melihat bahwa reklamasi membuahkan  hasil yang menguntungkan bagi negara-negara tersebut. Sebagai contoh, reklamasi di Dubai tidak hanya menambah jumlah ketersediaan lahan, melainkan  menjadi daya tarik pariwisata lokal. Melihat kondisi yang dialami pasca reklamasi, akhirnya nelayan juga tidak mengalami kerugian yang signifikan. 

Reklamasi yang ada di Jakarta juga tidak akan merugikan para nelayan. Pulau reklamasi dibangun sekitar 1 hingga 3 kilometer dari daratan, sedangkan area penangkapan ikan terletak di 7-10 mill (atau 11 - 16 Km) dari daratan Jakarta. Hal ini disampaikan Kepala Bappeda DKI Jakarta dalam pembahasan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2022.

Namun, bagai koin bermata dua, reklamasi juga menimbulkan sejumlah konsekuensi bagi Jakarta. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), ada beberapa poin negatif yang menjadi kekurangan reklamasi. Pertama, Walhi menilai pemerintah melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi semua warga negara. Kedua, Walhi menilai ada keberpihakan pada investor asing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun