Asimetri Informasi dalam Politik
Perilaku Adverselection dan Moral Hazard dalam dunia politik adalah hal yang lumrah di Indonesia. namun parahnya prilaku ini juga terbawa ketika para politisi telah menduduki jabatan publik, dimana mereka harus bertanggung jawab terhadap hidup banyak orang. Di masa pemilu, banyak masyarakat pemilih di Indonesia memilih pemimpin dan anggota legislatif tanpa benar-benar mengenal karakter, rekam jejak, dan visi kebijakan para calon-calonnya. Pilihan sering diambil berdasarkan popularitas, kedekatan emosional, atau citra selama kampanye, bukan analisis program, pengalaman dan kemampuan dalam merealisasikan program kerja. Akibatnya, ketika mereka menjabat, sering muncul kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan aspirasi rakyat.
Masalah ini semakin rumit ketika pemerintah ataupun pemerintah daerah terbiasa menjalakan pemerintahan dengan prilaku tidak transparan dalam mengelola anggaran maupun kebijakan yang berkenaan dengan kehidupan rakyat. Masyarakat sering tidak terlibat dalam setiap pembentukan kebijakan, karena telah diwakilkan oleh anggota-anggota DPR/DPRD nya, yang sebenarnya merupakan perwakilan partai-partai. Rakyat jarang sekali mendapatkan gambaran yang jelas mengenai penggunaan pajak dan kondisi keuangan daerah. Beban anggaran yang besar sering ditutup dengan cara cepat yaitu menaikkan pajak. Tanpa dialog, ataupun  sosialisasi kebijakan-kebijakan yang memberatkan sering tiba-tiba muncul dan mengikat, hingga akhirnya menjadi bahan bakar bagi kemarahan publik.
Asimetri Informasi dan Akar Konflik
Dalam teori asimetri informasi, satu pihak memiliki keunggulan data dan pengetahuan yang tidak dimiliki pihak lain. Jika kita melihat kasus yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Bupati, Eksekutif daerah, dan DRPD memegang seluruh informasi tentang kondisi fiskal, sumber pendapatan, serta proyeksi belanja. Ketika kebijakan Pemerintah Daerah yang ingin menaikkan Pajak Bumi Bangunan secara tiba-tiba, memberikan kejutan kepada masyarakat Pati. Masyarakat tidak terlibat secara nyata dalam diskusi kebijakan, sehingga keputusan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250% menciptakan gelombang protes.
Teori principal-agent, rakyat berada dalam posisi sebaga principal, memberikan mandat kepada pemerintah yang bertindak sebagai agent untuk mengelola pajak demi kesejahteraan bersama. Namun, ketika agent tidak transparan, potensi terjadinya moral hazard dengan memaksimalkan kepentingannya sendiri atau kelompoknya akan terjadi.
Perspektif Game Theory pada kasus Kabupaten Pati
Jika dilihat dari perspektif game theory, bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam kejadian aksi demo di Kabupaten Pati pada tanggal 13 Agustus 2025 ini, mengambil langkah-langkah untuk mencapai apa yang diinginkan. Kita akan membagi kejadian tersebut menjadi beberapa tahap kejadian. Â
Tahap Pertama: Strategi Dominan Bupati
Bupati, pemerintah daerah, beserta DPRD Pati tentunya relatif memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan warga masyarakat Pati. Dengan modal ini, pemerintah dan DPR membuat sebuah kebijakan untuk menambah anggaran PEMDA melalui kenaikan pajak yang dibebankan kepada masyarakat.