Sejak 2019, partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang di DPR menurun drastis. Salah satu penyebabnya adalah DPR menutup ruang diskusi dan oposisi terhadap pemerintah. Fraksi-fraksi di DPR jarang menolak kebijakan pemerintah, bahkan yang merugikan rakyat, seperti kebijakan PEN saat pandemi COVID-19, pemaksaan vaksin, hingga kebijakan yang memicu kelangkaan minyak goreng dan bahan pokok.
Saat itu Pemerintah mengeluarkan sebuah Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang menarik hak DPR untuk mengawasi dan memberikan masukan terhadap penggunaan APBN selama masa Covid. Saat itu tidak ada satupun faksi di DPR yang bersuara melawan keputusan pemerintah tersebut. DPR yang merupakan wakil rakyat hanya akan mendapat laporan tentang kebijakan dan penggunaan anggaran.
Kebijakan yang diambil pemerintah ini tentunya banyak melompati Undang-Undang yang ada seperti UU MD3, UU Keuangan Negara, UU Otonomi Daerah dan beberapa undang-undang lainnya. Sebenarnya ini merupakan sebuah contoh pelanggaran kontrak sosial yang terjadi di Republik Indonesia. Sebagian besar rakyat pun tidak pernah mengetahui situasi sebenarnya dari kisah ini. Karena mungkin banyak wakil rakyatnya yang menganggap rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk mengetahui dan memprotes.
Contoh lain adalah terbitnya UU TNI yang membolehkan TNI menduduki jabatan sipil atas usulan presiden. Penolakan publik terhadap kebijakan ini sangat besar, namun DPR dan pemerintah tetap bergeming. DPR dianggap "bermain mata" dengan pemerintah, mengabaikan mandat rakyat.
Sementara itu, ketimpangan ekonomi semakin terasa. Beberapa waktu lalu, pejabat dengan wajah sumringah mengumumkan keberhasilan menjaga ekonomi. Namun, banyak warga menilai kondisi ekonomi justru memburuk: perdagangan lesu, angka PHK meningkat, investasi langsung turun selama tiga kuartal, dan masalah lainnya.
Kondisi ini memicu sikap skeptis di kalangan masyarakat. Lembaga riset ekonomi Celios bahkan mengirimkan surat protes ke PBB terkait indikator ekonomi yang dipublikasikan BPS. Celios meminta audit menyeluruh terhadap metode perhitungan dan data, demi transparansi.
Penutup
Pada sidang BPUPKI, Sukarno memaparkan mengenai landasan berdirinya Republik Indonesia, dimana di dalam pidato tersebut terdapat kata "...semua untuk semua...". Beberapa bulan kemudian, terjadi peristiwa penandatanganan kontrak sosial berupa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sampai hari ini, Republik Indonesia, memang tidak pernah ditujukan untuk semua, seperti kata-kata manis Sukarno. Selama 80 tahun kemerdekaannya, berbagai rezim telah silih berganti memerintah, mereka gagal dalam memeratakan sumberdaya. "Semua untuk semua" tidak pernah tercapai.
Masyarakat Pati memiliki hak untuk melakukan perubahan terhadap kontrak sosial mereka, mereka berhak mencabut mandat mereka. Perlawanan masyarakat Pati mungkin bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat di daerah lain bagaimana rakyat menggunakan mandat mereka, terlepas dari seberapa banyak amplop yang telah diterima, kedaulatan itu terikat pada tubuh sebagai manusia, bukan terikat pada amplop yang diberikan oleh orang-orang yang berlagak seperti priyayi namun tidak pernah memiliki kebijakan dan kebajikan. Demokrasi nyata tidak pernah lahir dari ruang-ruang TPS, tetapi lahir ketika rakyat mempertanyakan hak mereka.
Dalam sejarahnya Rakyat Pati pernah melawan sebuah kekuasaan besar yaitu Sultan Agung, walaupun kalah hingga akhirnya Kadipaten Pati diluluh lantahkan oleh Mataram, namun semangat perlawanan tersebut masih tercatat dalam sejarah. Apakah perlawanan rakyat Pati saat ini akan kembali tercatat oleh sejarah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI