Kami tinggal di rumah sederhana yang jauh berbeda dengan ketika tinggal di Surabaya. Anak-anak bersekolah di sekolah negeri, tidak lagi di sekolah swasta pavorit.
Yang sempat jadi kekhawatiran kami, bisakah mereka menerima dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Kami bersyukur bahwa anak-anak mampu beradaptasi dengan sangat cepat. Mereka tampak enjoy dan baik-baik saja.
Memberi kebabasan untuk menentukan jalan menuju masa depan
Saya dan juga istri, punya pandangan bahwa kami memiliki mereka (anak-anak) hanya sementara, untuk waktu yang sangat singkat.
Ketika mereka akil balig selesailah kepemilikan kami atas mereka. Berdasarkan inilah, setelah mereka lulus SMP mereka kami beri kebabasan untuk menentukan kemana mereka akan melanjutkan sekolah. Juga ketika mereka lulus SMA. Kami hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan secukupnya.
Kami tidak mempersoalkan ketika anak, pertama memilih jurusan IPS di SMA, anak kedua memilih IPA, dan anak ketiga memilih jurusan Bahasa meski waktu test penjurusan hasilnya IPA. Kami justru bersyukur ketiga anak kami memilih jurusan yang berbeda.
Kami juga tidak pernah mempersoalkan ranking di kelas, mereka sendiri yang harus menentukan mata pelajaran apa yang harus diprioritaskan.
Memberi kebebasan seperti ini, bukan tidak mengundang resiko. Ini seperti yang dialami anak pertama yang memilih program studi komunikasi politik. Ia baru lulus 2 bulan setelah adiknya lulus dari fakultas peternakan.
Bukan pilihannya yang salah, tapi aktifitas di luar perkuliahanlah yang menjadi sebab utama kuliah bisa dikatakan berantakan.
Aktif sebagai pengurus teras Viking (komunitas bobotoh Persib) dan lembaga kemahasiswaan menyebabkan kuliah sempat terabaikan. Konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar, dan tentu saja ini menjadi hal yang tidak mudah bagi kami.
Kini saat adiknya sudah bekerja di salah satu perusahaan besar di bidang peternakan, ia masih sibuk mengikuti berbagai program rekrutmen.