Bising adalah suara-suara yang tak dikehendaki telinga. Sebising apapun, kalau itu siara music rock n roll atau dangdut yang kita sukai, itu tidak termasuk dalam kategori kebisingan karena telinga kita menginginkannya. Namun bisiknya suara kendaraan di depan rumah bisa-bisa membuat kita susah tidur. Bagi sebagian orang, kebisingan yang terus menerus seperti di tempat kerja bisa membuat mudah emosi.
Karena kebisingan merupakan salah satu komponen lingkungan manusia, Menteri lingkungan hidup RI pada tahun 1996 menerbitkan bakumutu lingkungan untuk parameter kebisingan melalui KepmenLH no 48/MNLH/11/1996 tentang bakumutu kebisingan. Berdasarkan keputusan tersebut, tingkat kebisingan yang diperbolehkan antara lain di pemukiman 55 dB (desibel), kawasan perkantoran dan perdagangan 65 dB, ruang terbuka hijau 50 dB, industri 70 dB dan seterusnya. Kalau mengaju kepada undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, membuat kebisingan lebih dari pada ketentuan itu dikategorikan sebagai gangguan lingkungan.
Namun sayangnya, dalam kenyataanya, kebisingan tidak hanya ditentukan oleh besarnya bunyi saja, tetapi juga dari frekuensinya. Bunyi besar tapi sekali-sekali bisa jadi tidak mengganggu kenyamanan dibanding dengan bunyi kecil tetapi terus menerus.
Dalam beberapa sidang pembahasan AMDAL yang menempatkan kebisingan sebagai salah satu variable pencemar, sering terjadi tarik ulur antara “mengganggu atau tidaknya” suara yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Ketika situasi itu terjadi, pemerintah yang dalam hal itu Komisi Penilai Amdal biasanya meminta untuk memperhitungkan aspek-aspek lain selain dari baku mutu tersebut tanpa memberikan parameter yang pasti.
Pakar fisik-kimia mengatakan kalua kebisingan yang tidak melampaui bakumutu adalah tidak mengganggu lingkungan, namun pakar sosialnya mengatakan kebisingan yang tidak melampaui bakumutu tetapi terus menerus tetap akan menimbulkan gangguan kenyamanan dan pada akhirnya gangguan kesehatan.
Adakah kompasianer yang bisa memberi pandangan…?