Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama Menggagas, Filsafat Menggugat, Sains Menyingkap [#1 Takdir]

10 Agustus 2015   16:03 Diperbarui: 10 Agustus 2015   16:03 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Agama, filsafat, dan sains adalah produk peradaban manusia yang berfungsi sebagai alat untuk menemukan kebenaran. Bedanya, landasan penerimaan kebenaran yang digunakan ketiganya berbeda. Agama berlandaskan pada iman, filsafat pada akal, sains pada metode. Karena berbeda landasan tersebut maka yang tampil ke permukaan adalah (seakan-akan) agama identic dengan tukang gagas, filsafat tukang sanggah, sains tukang mencari buktinya.

Kita ambil saja konsep takdir. Menurut sebagian besar agama, hidup manusia itu ditentukan oleh takdir. Kelahiran, kematian, jodoh, rejeki, musibah, ketampanan dan kecantikan seorang anak manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Tak ada seorang pun yang bisa melepaskan diri dari takdir itu.

Sementara itu filsuf dengan logikanya selalu memunculkan tanya, sangkalan dan/atau koreksi terhadap setiap gagasan yang menurut akal/pikirannya kurang memuaskan. Ketika melihat seseorang mengalami perubahan-perubahan dalam hal peruntungan dan/atau kemalangan maka dia langsung meragukan kebenaran takdir ditentukan Tuhan tadi. Maka muncullah gagasan korektif terhadap takdir dengan memunculkan konsep kehendak bebas. Ungkapan (kalimat bijak?) yang favorit disitir adalah “Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang selama orang tersebut tidak mau berubah.”

Perdebatan tentang mana yang lebih tepat bisa menjelaskan mengapa perjalanan hidup manusia tidak pernah sama, apakah takdir atau kehendak bebas,  terus berlanjut hingga kini. Akibatnya tidak sedikit penganut agama atau pembelajar filsafat yang menjadi bingung dibuatnya.

“Bila takdir harus diterima bulat-bulat,” kata seorang penganut agama, “buat apa aku harus berusaha keras mengubah kehidupan ku”.

Sebaliknya seorang pembelajar filsafat bergumam “kalau memang takdir itu omong kosong kenapa orang-orang yang sama-sama berlatar belakang keluarga berada dan sama-sama terdidik bisa mengalami peruntungan yang berbeda? Juga, kalau memang berlaku free will mengapa orang-orang yang sudah membaca puluhan buku tentang ‘Kiat-kiat hidup sukses’ tidak pernah merasakan sukses meski semua petunjuk dan nasehat buku tersebut sudah didikuti?”

Pendek kata perdebatan antara takdir dan kehendak bebas (free will) alih-alih bisa membawa orang bisa menemukan ketenangan spiritual, malahan bisa membuat orang menjadi munafik.

Beruntung sains hadir dengan konsep gen-nya. Gen lah, menurut temuan sudi genetika, yang menentukan jalan hidup seorang manusia. Betapa tidak, gen mengatur bentuk dan ukuran tubuh, warna kulit, warna rambut, warna mata, dan bentuk mata. Artinya apakah seseorang itu akan terlahir cantik, tampan, besar-tinggi, hidung mancung atau pesek, kulit putih atau hitam bergantung pada gen yang diwarisinya.

Sifat-sifat (perilaku): pemarah, penakut, agresif, pemalu juga terbukti dipengaruhi gen. Selanjutnya, ketahanan terhadap penyakit, perubahan cuaca dan lain-lain factor lingkungan juga dipengaruhi oleh gen.

Dengan demikian jelaslah bahwa jika penampilan fisik, kekuatan tubuh, dan watak ditentukan gen, bukankah peruntungan akan terpengaruh juga?

Manakah dari ketiga pendekatan itu yang paling pas menjelaskan peruntungan manusia? Agama, filsafat atau sains?

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun