Mohon tunggu...
Erham Kandai
Erham Kandai Mohon Tunggu...

Jadilah Engkau Pencipta Takdirmu Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik

hukum

4 Mei 2014   19:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:53 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Opini

Menakar Koalisi Di Tengah Sistem Presidensial

Oleh. Erham, S.H., M.H /Hp. 081339532020/087766515235

Putra Asli Kandai Satu- Bumi Nggahi Rawi Pahu Kabupaten Dompu-Provinsi Pulau Sumbawa.

Alumnus

Program Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Bid.Konsentrasi Hukum Tata Negara

Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Belum selesai Rekapitulasi hasilPemilihan Umum legislatif 9 April lalu oleh Komisi Pemilihan Umum. Namun, sejumlah daerah sudah diwarnai aksi protes dan ketidakpuasan sebagian besar calon anggota legislatif dan partai politik sudah demikian marak dikemukakan, sejak proses penghitungan suara hingga rekapitulasi hasil. Maraknya protes yang semakin meluas hampir disemua daerahatas proses rekapitulasi hasil Pemilu Pileg 9 April lalu, sehingga hal ini berpotensi menjadi salah satu pemilu yang penuh karut-marut dalam sejarah pemilu dinegeri ini. Belum resmi diumumkan oleh KPU sejumlah gugatan hasil rekapitulasi Pemilu ke MK telah menanti. Semua kekarut-marutan itu berlangsung ditengah safari politik yang bernama koalisi, koalisi ditengah karut-marut pemilu seolah tidak mengisyaratkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap para elite politik untuk menghadapi Pilpres9 Juli mendatang. Justru koalisi menjadi isu sentral yang mewarnai konstelasi politik tanah air pasca Pemilu legislatif 9 April lalu.Sejauh ini menurut hemat saya justru yang mengalami karut-marut atau kegaduhan pemilihanumumdinegeri ini yakni sistem pemilu itu sendiri hal ini sesungguhnya disebabkan adanya koalisi ditengah system presidensial. Karena koalisi tidak ada pijakan dan logika konstitusional-nya melainkan sudahmenjadi rahasia umum koalisi hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan tanpa kejelasan platform dan komitmen tinggi sebagaimana terjadi selama lima tahun terakhir.Walaupunbeberapa elite politik menolak untuk disebut koalisi sekadar bagi-bagi kekuasaan atau politik dagang sapi dan menggunakan bahasa penghalusan guna menyebut koalisi yakni koalisitidak didasarkan pada tawar-menawar kursi kabinet ataupun posisi cawapres melainkan dilakukan karena kesamaan platform dan ideologi. Apapun alasan dan/atau dalil yang digunakan guna membenarkantindakan sebagian elite politik dinegeri ini tentu saja rakyat sudah cerdas memahami lakon yang elite politik lakukan.Mengofirmasi argumentasi para elite politik tersebut sesungguhnya argumentasi a contrario memangbenar apa yang dikatakan Lili Romli Dalam tulisannya yang bertanjuk Peta Kekuatan Politikdan kecenderungan koalisi: Catatan atas hasil pemilu 1999 & 2004 (2009) menyebutkan bahwa koalisi yang terbentuk bukanlah koalisi yang berdasarkan ideologi. Tetapi, koalisi pragmatis atau kepentingan sesaat sehingga, koalisi sangat longgar dan mudah bubar.

Akan tetapi, jauh lebih rasional apabila takaran koalisi diukur dari optik system presidensial sesuai amanat konstitusi. Justifikasi konstitusional atas koalisi dilihat dari perspektif hukum tata negara dan jika dirunut dari original intent, tafsir gramatikal, tafsir sistematis dan logika hukum memang sulit untuk dicarikandasar pijakannya karena apabila dibaca dengan cermat konstitusi yakni UUD, 1945Pasal 6A ayat (2) menyebutkan bahwa: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Partai Politik sebagai komponen negara yang menganut demokrasi, mempunyaiposisi(status) dan peranan (role) yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik dari kelompok manusia. Tujuan politik dari kelompok manusia tidak lain adalah dalam rangka mendapatkan kekuasaan secara sah dan konstitusional dalam pemerintahan melalui pemilihan umum. Mirriam Budiardjo dalam karya monumentalnya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008) menyatakan bahwa

Fungsi partai politik dinegara-negara demokratis, meliputi: (i) sebagai sarana komunikasi politik; (ii) sebagai sarana sosialisasi politik; (iii) sebagai sarana rekruitmen politik; dan (iv) sebagai sarana pengatur konfik. Dengan demikian basis argumentasi pengaturan ambang batas atau presidensial threshold baik secara teoretis, konseptual atau dengan menggunakan pendekatan konstitusional basis argumentasi pengaturan ambang batas atau presidensial thresholduntuk mengusung capres dan cawapres dalam pemilu legislatif dengan perolehan suara 20 % kursi parlemen atau 25 % suara pemilihtidak cukup alasan konstitusionalitas-nya -adalah justru pengaturan yang demikian diatur ditingkat undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.Denganketiadaan partai politik dengan raihan suara 20 % kursi parlemen atau 25 % suara pemilihsebagai syarat utama mencalonkan pasangan capres dan cawapres sehingga basis argumentasi yang dibangun guna untuk membenarkan praktik illegal yang bernama koalisi tersebut mau tidak mau, suka atau tidak suka harus dilakukan koalisi. Pengaturan mengenai keniscayaan koalisi ditingkat undang-undang atau via politik hukum adalah syarat dengan kepentingan politik pragmatis sehingga undang-undang yang dibuatatas dasar kepentingan politik mereka sendiri atau kelompok yang dominan didalamnya-atau ekstrim-nya koalisi merupakan konspirasi jahat partai politik tertentu dengan menutup rapat-rapat munculnya capres dan cawapres alternatif atau dengan kata lain partai politik tertentucenderung mempertahankan status quo kekuasaan. Jadi, ada semacam oligarki politik dinegeri ini ditengahsystem yang demokratis sebenarnya, Yusril Ihza Mahendra mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan status quo adalah orang yang sebenarnya ingin keadaan tidak berubahdan yang dimaksud dengan oligarki itu adalah kelompok kecil orangyang menikmati kekuasaan dengan cara-cara yang menyimpang dari konstitusi. Jadi, Konstitusi harus ditegakkan dan siapapun yang melawan konstitusi adalah penghianat kepada bangsa dan negara.Padahal, di era demokrasi dewasa ini, tak terbilang banyaknya tokoh yang muncul di perpolitikan kita Mao Dze Dong “seribu bunga berkembang”.Era keterbukaan ini, telah melahirkan tokoh-tokoh politik (politisi) dari berbagai kalangan, munculnya sejumlah tokoh dari berbagai kalangan tersebut, telah membuat suatu anti tesis terhadap pengalaman sejarah bangsa Indonesia dibawah iklimdemokrasi terpimpin, atau alam demokrasi asas tunggal, yang tokohnya dikarbit atau diorbitkan oleh sebuah rezim yang berkuasa pada saat itu. Iklim demokrasi yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia yang ditandai dengan lahirnya era reformasi yang relatif telah berusia lebih dari satu dasawarsa tokoh bisa muncul dari mana saja.Jenjang stratifikasi tak lagi tertutup rapat, tapi terbuka lebar untuk siapa saja yang mampu naik ke panggung politik nasional.Inilah esensi dari system presidensial yang diamanatkan oleh konstitusi.System presidensial berkait erat dengan fungsi eksekutif, karena presiden berperan sebagai kepala eksekutif.System ini meletakkan Presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tapi juga pusat kekuasaan negara.Sejarah pemerintahan presidensial di Indonesia berikut dinamikanya telah berlangsung sejak diberlakukannya UUD, 1945 tanggal 18 Agustus 1945 yang memuat prinsip dasar system presidensial, yaitu posisi presiden sebagai kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (head of government); posisi presiden dan parlemen yang mandiri (checks and balances); dan kekuasaan presiden dalam membentuk cabinet (Hanta Yuda AR, 2010:78). Dalam system parlementer, partai jamak atau multipartai disyaratkan untuk membentuk koalisi dalam memilih perdana menteri.Jadi, perdana menteri terpilih bertanggung jawab kepada parlemen.

Dengan demikian, system presidensial meniscayakan adanya jabatan presiden yang terpisah, baik secara kelembagaan maupun personnya, dari parlemen (legislatif) atau yudikatif.Menurut teori Trias Politica Montesquieu, prinsip ini merupakan pengejewantahan dari pemisahan kelembagaan dan personalia yang secara tegas membedakan sumber-sumber kekuasaan dalam negara.Selain itu, prinsip keterpilihan secara langsung oleh rakyat (direct popular vote) untuk masa jabatan yang tetap (fixed term office) bertujuan memantapkan legitimasi presiden dihadapan rakyat.Sebenarnya sejumlah tokoh yang mumpuni dan mampu membawa perubahan bagi republik Indonesia seperti Proffesor Moh. Mahfud, MD Proffesor Yusril Ihza Mahendra, Chairul Tanjung, Proffesor Jimly Asshiddiqie,Dahlan Iskan, Anis Baswedan, Gita Wirjawandan masih banyak yanglainnya.Namun, apa yang terjadi kondisi politik kekinian Indonesia telah menutup rapat-rapat hadirnya capres dan cawapres alternatif karena capres dan cawapres harus diusung dengan makanisme ambang batas minimal 20 % kursi parlemen atau 25 % suara pemilih hasil pemilu legislatif untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres (presidential threshold).

Namun, upaya untuk mencapreskan para tokoh-tokoh bangsa indonesia yang tidak kalah mumpuni dan tersohor dari figure Jusuf Kala, Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto dan Hatta Rajasa, harus terganjal oleh presidential threshold, justru partai politik yang berfungsi sebagai sarana rekruitmen politik harusnya tidak saja memberi ruang kepada calon diinternal partai politiksemata. Akan tetapi, jauh lebih memberikan manfaat apabila capres dan cawapres yang diluar internal partai politik juga diberikan kesempatan, demi Indonesia yang lebih baik. Dengan demikian demi menata masa depan perpolitikannasional indonesia yang lebih baik dimasa-masa yang akan datang, kemunculan calon alternatifharus terus digulirkan dan digelorakan. Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun