Ada atheis atau agnostik yang dengan lantang menyuarakan pahamnya. Bahkan menulis buku juga. Susah payah orang lain meluruskan, atau minimal agar membuatnya diam dan menyimpan pendapatnya sendirian.
Bila tak mau diajak dalam kebenaran, setidaknya jangan mengajak orang lain jadi salah, kata masyarakat. Tapi dengan fasih orang tadi selalu pintar membuat pembenaran. Sederhananya, dia seperti merasa nyaman.
Hal tersebut tentunya menakutkan. Sebab apa yang lebih mengerikan dari saat kita tak menyadari, bahwa ternyata sedang melakukan kesalahan? Saat tidak tahu, bisa saja akhirnya terus menerus kita jadi akan melakukannya, bahkan mencari bukti bahwa kita bukan di pihak yang salah.
Apakah padanan kata "penglulu" dalam bahasa Indonesia? Saat dalam kondisi demikian, kebanyakan orang tak sadar.
***
Suatu ketika, seorang murid bertanya kepada gurunya. Dia sadar betul dan memahami, setelah sebentar mengaji, demikian banyak dosa telah dilakukannya. Tapi seolah-olah tak kunjung merasakan "hukuman Tuhan".
Kini justru jadi gurunya yang merasa heran. Mengapa terpikirkan pertanyaan seperti itu? Berarti mungkin si murid benar-benar telah "tertidur dalam hukuman" tanpa pernah dia sadari. Itu merupakan dua hal yang sangat menyakitkan sekaligus sebenarnya. Sang guru ingin memastikan, maka dia bertanya.
"Apakah malammu terlewati dengan tidur nyenyak sampai pagi?" Tanya guru.
"Ia. Aku tidur lelap sekali, bukankah itu nikmat? Diluar sana banyak orang yang tak bisa tidur."
"Apakah siangmu berlalu begitu saja, tiba-tiba sudah sore, begitu?"
"Demikian, mungkin aku begitu menikmati hari. Sehingga waktu terasa cepat berlalu."