Siang dan malam bekerja demi uang. Dan uang tak memberikan apapun, kecuali menuntut brankas raksasa, diawasi sepanjang masa. Hingga tuan rumah tak nyenyak tertidur, gelisah hingga raga terbujur.
***
Dan segalanya menjadi menyedihkan saat dibingkai dengan komersialisasi. Juga kesetiaan. Atau sekedar ingin sewa tempat untuk parkir motor barang lima menit saja, harus bayar!
Padahal fotokopi seribu perak. Tapi bayar ongkos jaga keamanan dua ribu perak. Inilah anekdot yang sebenarnya. Bukannya materialistis, tapi beberapa orang susah cari makan, dan ada yang bisa kaya raya dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Tentu kalau kemudian ada yayasan filantropi di setiap gang. Mungkin kesejahteraan akan berbalik dan didapatkan oleh mereka yang makan satu kali sehari. Atau tidak sama sekali, jika itu pula mulai dikomersialisasikan juga...
Tapi itu hanya umpama. Tak saya bayangkan benar-benar ada. Kecuali dalam layar pentas teater yang ditonton mereka yang butuh hiburan semata.
Sedih saat sukses mulai diukur dengan pencapaian yang mustahil. Gold and glory. Manusia jadi sulit, meskipun untuk membeli kemerdekaannya sendiri.
Dan hidup adalah cerpen itu sendiri. Saking pendeknya. Masih dipersingkat pula dengan kekecewaan subjektif. Bahwa setiap kegagalan atau mimpi yang tak jadi nyata adalah sebuah karma.
***
Jika panggung sandiwara tak ada tokoh antagonis, biasanya itu bukan melodrama. Bahkan roman picisan juga memiliki kisah tragis. Maka bagaimana mungkin yang fiksi akan mengalahkan yang nyata?
Maka inilah kisah nyata. Selalu lengkap dengan marah dan juga bumbu pedasnya mulut tetangga. Tentu kalau kita lebih memilih "matikan radio". Hidup bisa lebih tenang. Semua akhirnya baik-baik saja...